Jemput Aku, Sendiri Saja

Kamis, September 26, 2013 Unknown 0 Comments

Jemput Aku, Sendiri Saja

Jingga milik senja telah menggulung biru milik langit. Warna bumi serentak menjadi orange, lalu perlahan tapi pasti semburat warna orange itu kemudian pecah menyebar digantikan oleh hitam dan pekatnya warna malam. Pemilik alam menyeret lampu besar milik jagad raya ke dalam ruangannya, menjadikan bumi mendadak diliputi gulita, lalu Dia menukarnya dengan cercahan cahaya yang tidak ada apa-apanya. Bulan namanya. Namun tiada yang bisa menyainginya meskipun seluruh cahaya dari alam lain berkumpul dan bersatu untuk menundukkannya. Sinarnya terlalu lembut dan hangat untuk digantikan siapapun. Bulan itu dingin. Dinginnya itu membangkitkan luka dan seakan menjadi mesin waktu instan yang bisa membawa kita ke pusaran kenangan menyakitkan. Sayangnya tatapan anggunnya mampu membuat seluruh alam menyerahkan sebagian hari mereka padanya, 12 jam penuh tidak lebih dan tidak kurang. Keteguhannya sanggup membuat mereka percaya bahwa mereka akan tetap nyaman dalam dingin sekalipun. Dari kejauhan, lampu besar itu tersenyum dari balik pintu ruangan Tuannya, sepertinya dia menemukan teman untuk menjaga alam agar tidak kehilangan cahaya.

Malam ini, aku tahu kalau bulan sedang benderang. Mungkin dia sedang senang namun tetap tenang, tetap anggun, tidak seperti manusia yang selalu berlebihan saat mereka sedang senang dan akan berlebihan juga saat mereka dirundung duka. Lihatlah aku, manusia yang begitu rapuh dan lusuh. Cermin besarku memantulkan bayanganku yang begitu buruk. Mataku sembab karena menangis semalaman dan rambut panjangku entah sudah berapa lama aku biarkan terurai tanpa tatanan. Seharusnya aku malu pada bulan. Tapi aku berteriak pada diriku sendiri, ‘aku bukan bulan yang bisa tetap tegar menghadang badai, AKU BUKAN BULAN!’. Aku mengelak mati matian, tapi pada kenyataannya aku tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa aku memang malu pada bulan yang sanggup tegar meniti malam malam yang mulai kurang ajar. Sekali lagi, aku memandang cermin, melihat aku yang mulai lain dan aku malu pada bulan.

Kemudian aku teringat akan sosok dengan senyum yang membuat separuh jiwaku melayang ke kahyangan. Dia berjalan dengan seorang wanita berkulit putih bersih dan mata yang hanya tampak seperti garis lurus itu. Mereka berjalan menjauhi bayanganku, tertawa bersama lalu bergandengan tangan menuju masa depan. Aku berdiri tegak, tertegun menatap punggung yang semakin lama semakin jauh meninggalkanku. Aku tersenyum mantap tapi bayanganku sudah terduduk lemas, terlalu jujur dan terlalu frontal menunjukkan kesedihan. Sosok itu, pemilik senyum itu adalah orang yang sedang kucintai sekaligus sedang membuat hatiku nyeri (tanpa pernah dia sadari). Senyum itu sama seperti yang kulihat pertama kali. Yang berbeda hanyalah perasaanku yang semakin rakus ingin memilikimu dan rasa sakit yang menyerang ulu hatiku tiap kali aku semakin ingin memilikimu. Yang berbeda hanyalah kamu sudah bersama seseorang yang mencintaimu sekarang. Tapi, yang tetap sama adalah aku, aku yang masih sendiri seperti saat pertama kali aku meletakkan hatimu di hatiku dan aku yang selalu berdebar tiap kali melihat senyum ajaib itu. Sesederhana itu keadaan kita sekarang. Bagimu ini mudah, tapi bagiku ini lebih dari musibah.

Tubuhku seperti dicabik-cabik waktu. Paru-paruku layu. Degupan jantungku memompa kehidupan yang ragu-ragu. Mataku sayu, terlalu lama melihat adegan mesra antara kamu dan kekasihmu. Tapi bahuku ternyata lebih kuat daripada karang laut. ‘Deburkan saja ombak yang keras ke tubuhku, silahkan!’ Pembuluh darahku perlahan lahan berfungsi lagi setelah mati suri lalu mengalirkan kekuatan ke setiap ons takdirku. Takdir untuk tetap hidup meskipun harus patah berkali-kali. Bukankah manusia itu tidak pernah jera dengan cinta meskipun lara?

Aku merebahkan badanku di kasur. Aku mulai berpikir kalau aku mulai gila karena cinta bodoh ini. Iya, mencintai orang yang sudah dicintai orang lain adalah hal bodoh menurutku. Tapi, bukankah sebenarnya kita juga tidak menginginkan hal menggelikan itu terjadi? Bukankah kita tidak berkuasa atas cinta? Yang Maha Memiliki Cinta lebih berkuasa membolak-balikkan hati, menabur cinta dan bahkan mencabut kasih. Aku menggeser posisi tidurku, membolak-balikkan badan di atas kasur yang mulai uzur dimakan umur. Kemudian aku berpikir lagi tentang cinta yang harus satu. Cinta tidak boleh dua, cinta maksimal empat dan seterusnya. Jika cinta itu matematis, pada angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia bablas? Seandainya cinta tak harus satu mungkin kami bisa menyatu tanpa takut terjerembab ke lereng waktu.

Aku kembali kuat. Meskipun cinta sialan itu hampir membuatku sekarat dan berkarat. Aku masih mampu berharap bahwa suatu saat hatiku akan utuh lagi dengan kamu sebagai pelengkap. Bagiku, patah hati yang terlalu cepat adalah konsekuensi atas proses jatuh cintaku yang cukup singkat. Karena semuanya begitu cepat, aku harus bangkit lagi dengan sigap. Cinta menungguku di depan mata. Aku harus jatuh cinta lagi kepadamu sejak awal, meskipun aku harus terluka lagi dan terluka lagi selama kamu masih menggadaikan senyummu kepada pemilik mata sipit itu. Aku belum lelah melihat hatiku patah.

Entah aku bodoh atau keras kepala atau tidak bisa menerima kenyataan bahwa kamu telah berdua. Aku tidak tahu. Nyatanya aku masih belum jera menambatkan hati di dermaga milikmu tanpa sepengetahuanmu tentu saja. Dan aku tidak mau kamu sampai tahu. Anggap saja aku terlalu mencintai diri sendiri karena aku memilih untuk tidak mengungkapkannya kepadamu, terserah. Bagiku, cinta tidak harus diucapkan dan ditunjukkan secara berlebihan. Tanpa kita menunjukkan pun, alam telah memperlihatkan terlebih dahulu lewat angin yang berhembus menerabas helaian rambutmu. Aku masih menunggu tangan tangan alam bergerak mendekatkan sisi kanan pundakku dengan sisi kiri pundakmu, lalu kita menjadi sangat dekat dalam waktu yang singkat dan kita saling memeluk erat. Persetan dengan orang yang enggan menunggu, hanya karena takut dikatakan terlalu lemah dan bodoh. Persetan dengan penantian tanpa akhir. Bukankah selalu ada janji sebuah pertemuan di setiap penantian? Kita saja yang tidak mau menunggu semenit lebih lama dan menyimpulkan terlalu cepat tentang janji itu. Sekali lagi, sekilas senyummu mampu membuatku percaya bahwa janji itu nyata, bahwa kita akan bertemu di ujung penantian masa. Seketika aku teringat mata milik kekasihnya. Seketika itu pula aku ingin menyerah karena penantian itu sudah pasti akan membuat jengah dan gerah. Aih, dimana rasa percayaku yang tadi. Payah

CUKUP !

Sepertinya aku mabuk. Duniaku seperti terjungkir kemudian terbalik. Bicaraku mulai ngawur, campur campur dan tidak beralur. Mudah saja aku mengatakan A dan setengah detik kemudian aku berkata B, menyangkal segala yang telah kuucapkan sebelumnya. Aku memang mabuk. Ruang panjang tenggorokanku barangkali telah dialiri arak berpuluh puluh tenggak.

Pergilah. Pergilah menuju senja. Tenggelamkan punggungmu disana bersama siapapun yang menjadi pilihanmu kini. Lalu aku akan berjalan menuju pagi, menghangatkan raga yang kembali mendingin sejenak setelah punggungmu hilang dari pelupuk mataku, bercampur bersama bubuk orange dari surga. Aku akan berlari menuju pagi paling hangat yang pernah ada, siapa tahu langkah jenjangmu berhasil menjangkau pagi lebih cepat daripada yang aku kira, dan kita akan bertemu. Seperti pertemuan pertama kita, aku sendiri dan kamu sendiri. Kamu sedang terluka dan aku akan menutup luka dengan bahagia yang kupunya. Aku akan membungkus lara dan kenangan lama. Dan kita akan bersama, sampai renta, sampai senja tak lagi ada.

***

Aku bangun dan berjalan menuju cermin dan masih melihat orang yang sama. Orang dengan keadaan terburuk sepanjang masa. Kemudian aku menarik kedua ujung bibirku, memaksakan senyum untuk kemudian bisa benar-benar tersenyum. Aku mengambil sisir lalu merapihkan rambutku perlahan, seperti menata kembali harapan yang baru saja pencar. Aku memperhatikan cermin, kupikir ini lebih baik dan pasti akan tetap baik-baik saja. Diam diam, di balik singgasana langit, bulan melihatku dengan tersenyum. ‘Kamu tidak perlu lagi malu kepadaku’ katanya sambil lalu.

Sampai jumpa pemilik senyum kesayanganku. Berlarilah menuju senja sampai kamu bertemu pagi. Aku menunggumu di setiap pagi yang hadir menyapa. Datanglah sendiri dan tanpa ragu aku akan menjemputmu dengan berlari.

-END-



Note: Apa kau berpikir kalau aku benar benar ‘AKU’? Jika iya, itu adalah kesalahan besar.

0 komentar:

Patah (lagi)

Senin, September 23, 2013 Unknown 0 Comments


(kuharap) Kau tahu kalau aku mencintaimu dengan segala isyarat halus yang kuberitahukan kepada malam, dengan beribu-ribu pesan yang kutitipkan pada hujan. Karena itu aku (berusaha) mengikhaskanmu.

©©

Aku begitu hangat saat itu. Entah karena aku sedang demam atau hanya sedang cemburu. Mungkin juga patah hati. Aku juga masih belum tahu kenapa aku layak untuk patah hati, terlalu sering patah hati lebih tepatnya. Saking seringnya, rasaku mati berkali-kali. Namun aku terlalu gengsi untuk menyerah atau mungkin hati ini masih belum lelah dan belum benar benar patah. Karena itu, aku jatuh cinta lagi, lagi lagi jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada pemilik senyum yang tiada habisnya. Aku begitu hangat saat itu. Tapi kupikir, ini bukan cemburu atau pun patah hati, ini cinta.

Senyum itu selalu berhasil membuat jantung ini berdegup lebih hebat dari biasanya dan darah serasa mengalir tidak pada tempatnya. Sistem tubuhku dikacaukan seketika oleh pemilik senyum yang sejak dulu sudah kuketahui namanya namun belum pernah membuat degup jantungku tampak berantakan seperti akhir akhir ini. Hubungan kami hanya sebatas dua orang manusia yang pernah bertemu beberapa kali secara tidak sengaja tapi tidak pernah saling memperhatikan satu sama lain. Itu saja. Aku sibuk dengan duniaku dan dia sibuk dengan dunianya, sibuk mengejar cintanya barangkali. Sampai waktu itu datang, kami hanyalah dua orang yang tidak akan pernah merasa rindu walaupun kami tidak bertemu untuk waktu yang lama. Hingga saat itu tiba, kami hanyalah orang yang akan selalu berlari ke kutub yang berbeda.

Tetesan rasa di atas hati yang berulang kali patah ini membuatku lain. Seketika aku melupakan kisah-kisah percintaan pahit masa lalu. Sepotong hati yang baru sudah kugenggam dan kali ini aku tidak akan membiarkannya patah lagi untuk kesekian kalinya. Dengan segenap rasa percaya diriku, aku mengklaim bahwa pemilik senyum itu adalah seseorang yang nantinya akan hidup bersamaku hingga renta. Dalam hati aku ragu, tapi lagi-lagi senyum itu meyakinkanku bahwa semua itu akan menjadi nyata, lebih nyata dari apapun.

Maka, semenjak aku tahu bahwa aku sedang jatuh hati kepada pemilik senyum yang menggetarkan hati, aku mencari tahu tentang dia. Apapun tentang dia. Asal-usulnya, teman-temannya, orang yang sedang dicintainya. Bahkan aku mencari tahu nomor handphone-nya, tempat tempat yang biasa dikunjunginya saat malam minggu tiba, klub sepak bola favoritnya dan seterusnya. Orang yang sedang jatuh cinta itu mempunyai rasa penasaran yang bahkan bisa membunuh singa liar sekalipun, tidak terkendali. Selalu ada cara untuk menembus batas yang tercipta yang menutupi kebenaran yang ada. Dan setiap orang yang sedang jatuh cinta pada akhirnya akan selalu berhasil menembus batas itu dan mengetahui setiap kebenaran yang ada di balik batas itu, meskipun kebenaran itu nantinya akan menimbulkan lara.

Beberapa hari setelah pemilik senyum itu berhasil mengisi ruang sempit hatiku, aku semakin gencar menunjukkan diri di hadapannya. Tujuanku hanya satu, supaya dia menyadari ada seseorang yang berdebar dadanya setiap kali senyum itu terkembang dari bibirnya. Dalam setiap pertemuan, aku selalu berdoa supaya telinganya tiba tiba mendengar degup jantung yang tidak biasa sehingga aku tidak perlu berkata langsung bahwa aku mulai mencintainya.

Pada suatu waktu, kami setidaknya mulai lebih dekat dari biasanya. Kami sering berbicara, berbicara apa saja. Aku bercerita tentang hujan yang tidak pernah bisa menghubungkanku dengan hati seseorang. Lalu kamu mulai tertawa, mengatakanku aneh dan sebagainya. Dan aku melihat tawanya sekarang. Rasanya aku ingin melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim coklat. Dan di sebuah waktu, aku dikejutkan oleh ajakannya ke pasar tradisional, kupikir dia bercanda karena itu aku meng-iya-kan ajakannya. Tidak disangka, itu sungguhan. Kalau tahu begini aku akan menolaknya dengan alasan-alasan yang kubuat-buat. Antara bahagia luar biasa dan sangat bahagia, aku tidak mengerti, yang jelas aaah aku sudah tidak bisa mengendalikan degup jantungku. Debaran ini mungkin lebih keras dibandingkan dengan deburan ombak pantai manapun. Ini berlebihan tapi bukankah orang jatuh cinta itu selalu berlebihan?

Di saat yang sama, di saat seolah-olah kelopak kelopak bunga sakura satu per satu jatuh di atas kepalaku dengan alunan lagu lagu cinta atas respon positif yang diberikannya, aku tidak tahu kalau cerita ini akan berakhir menyakitkan. Aku tidak tahu, sungguh.

Dia menjemputku pagi pagi sekali. Ini lucu dan terkesan tidak indah untuk ukuran kencan pertama. Kencan? Iya, aku menganggapnya demikian dan lagi lagi ini berlebihan. Tidak masalah. Jangan mengacaukan fantasiku dengan kemungkinan kemungkinan buruk yang sulit kubayangkan, biarkan aku merasa senang, setidaknya untuk hari ini. Pasarnya tidak jauh, namun kurasa jarak yang dekat ini kami tempuh dengan waktu yang lama. Entah karena gas motor yang tidak dipacu dengan dahsyat atau karena bumi sedang mengerti perasaanku yang ingin berlama-lama dengan orang ini sehingga tanpa disadari bumi menjauhkan jaraknya. Entahlah. Biarkan aku menikmati saat saat ini, siapa tahu ini akan menjadi yang terakhir kali aku bisa duduk berdekatan seperti ini meskipun dia tidak menghadap ke arahku dan sibuk dengan motornya. Aku bahagia, bahkan aku sangat bahagia hingga hampir gila.

Sejak saat itu, aku tahu kalau dia suka memasak. Tidak canggih seperti koki tapi cukup untuk membuatku lebih jatuh cinta. Aku mulai suka memasak. Setiap hari pikiranku dihiasi oleh berbagai resep masakan. Bahkan pikiran sintingku mulai membayangkan tentang betapa menyenangkannya bisa setiap hari pergi ke pasar bersama untuk membeli bahan masakan lalu kemudian mengolahnya bersama-sama. Seandainya itu nyata, mungkin aku bisa lebih gila daripada ini.

©©

Kukatakan sekali lagi bahwa orang yang sedang jatuh cinta punya rasa penasaran yang bahkan bisa membunuh seekor singa liar. Aku mencari tahu tentangnya setiap saat semampuku. Aku diam diam memperhatikan situs jejaring sosialnya, setiap menit bahkan detik. Dengan tindakan seperti ini rasanya aku sudah layak menjadi seorang intel FBI. Di sebuah waktu yang tak terduga, ada sesuatu yang menikam tepat di jantungku, sesuatu yang sulit untuk dicabut lagi. Di akun twitternya, dia melakukan percakapan yang sangat intens dengan seorang wanita yang bahkan aku tidak tahu namanya. Aku men-scroll timeline twitter hingga ujung, hanya ada satu nama itu yang begitu banyak menghiasi timelinenya. Ada beberapa yang lain, tapi tidak menyita perhatianku. Pikiran pikiran positif masih kalah jumlahnya dengan yang negative. Hatiku mendadak layu, lagu lagu cinta yang riang berubah menjadi lagu medley yang mendayu-dayu, tidak ada lagi kelopak sakura yang gugur. Yang ada hanyalah sebuah pohon yang hanya tinggal ranting, kering.

Akankah hatiku patah lagi?

Beberapa waktu kemudian, aku tahu kalau dia sudah mempunyai kekasih. Orang yang sama yang sering muncul di timeline-nya beberapa saat yang lalu. Di saat saat seperti ini, hanya satu yang ingin aku pertanyakan, adakah yang lebih menyakitkan dibandingkan dengan cinta yang selalu bertepuk sebelah tangan?

Ya, hatiku patah lagi.

©©

Aku masih riang seperti biasanya meskipun aku tahu pemilik senyum itu sudah menambatkan hatinya untuk seorang wanita berketurunan Cina. Aku juga masih sering membayangkan kalau sang pemilik senyum yang menawan itu pada nantinya akan tetap memilih pergi ke pasar dan memasak makanan makanan yang lezat bersamaku. Aku juga masih semangat untuk membuatkannya masakan. Hatiku tetap berkeyakinan bahwa secantik apapun wanita yang sedang didekatinya sekarang, akan tetap kalah cantik dengan seorang wanita yang pandai memasak. Dan akulah wanita yang pandai memasak itu yang suatu saat akan merebut hatinya.

Hari ini aku ke pasar dengan ditemani temanku, membeli bahan bahan untuk membuat makanan sederhana, untuknya. Aku akan membuat klepon, makanan berbahan dasar tepung ketan dengan gula aren di dalamnya dan dibaluri dengan ampas kelapa di luarnya. Aku membuatnya dengan sepenuh hati, berharap ada pujian yang keluar dari mulutnya memakan klepon buatanku. Sayangnya, saat aku datang ke rumah kontrakannya mengantarkan klepon itu, dia belum pulang. Terpaksa aku berbohong, mengatakan bahwa aku membuatkan klepon itu untuk orang orang yang ada dikontrakannya. Mereka senang, mereka mengatakan kalau itu enak. Aku senang, tapi akan lebih senang lagi saat dia yang mengatakan itu kepadaku. Ah sudahlah, aku pulang saja. Namun sebelum aku pulang, dia tiba tiba datang. Aku deg-degan dan tidak bisa berbuat apa apa meskipun sekadar menyapanya dengan riang. Dan dia memakan kleponku. Aku masih gugup, aku tidak ingat apakah dia mengatakan enak atau tidak. Yang aku tahu, aku harus segera pulang, aku tidak sanggup melihat senyumnya. Senyum yang sudah dimiliki orang lain, bukan aku. Cinta dan rasa sakit jaraknya terlalu dekat.

Kata kata yang kuingat sebelum aku pulang adalah dia meminta dibuatkan pudding coklat dan strawberry. Ah, aku semangat lagi. Dalam hati aku berkata ‘apapun akan aku masakkan, untukmu, selagi aku mampu’ .

Cinta dan rasa sakit itu jaraknya dekat, tapi selain dekat dengan rasa sakit, cinta juga dekat dengan rasa bahagia.

©©

Aku datang lagi ke rumah kontrakannya, membawa bahan pudding, bahan kolak dan sayur mayur. Ada banyak makanan yang harus dimasak hari ini. Aku pasar siang tadi, bergelut dengan teriknya sinar matahari dan polusi kota, belum lagi keadaan pasar yang semrawut. Rambut panjangku mulai lepek, tubuhku kebanjiran peluh. Ini semua demi pemilik senyum itu.

Aku belum jadi membuat pudding untuknya. Sebagai gantinya aku memasakkan sayur untuk makan siangnya dan teman-temannya. Katanya enak, ini cukup melambungkan hatiku dan melupakan rasa lelahku.

Sore menjelang. Matahari hampir kembali ke peraduannya, sinar jingga memancar syahdu dari ufuk barat. Dan hari ini malam minggu, sebuah malam yang tidak ada artinya bagiku namun akan sangat berarti bagi setiap orang yang memiliki kekasih. Itu berarti, malam ini akan sangat berarti baginya. Aku mencoba menghibur diri dengan pura pura tidak peduli bahwa dia akan pergi bersama kekasihnya malam ini. Aku memperhatikan tingkahnya yang sejak tadi. Rupanya dia sedang bingung akan memakai baju yang mana untuk kencan malam ini. Saking tidak adanya baju yang belum disetrika, dia mengambil baju di jemuran yang baru saja kering. Aku tertawa. Sebegitunyakah?

Untuk urusan kencannya, aku tidak peduli. Hatiku sudah biasa dengan hal-hal seperti ini. Bukankah rasanya sama seperti saat aku mengetahui kalau dia sudah mempunyai kekasih di saat aku sedang benar benar dilambungkan dengan sikapnya kepadaku? Itu lebih menyedihkan dibandingkan ini.

Aku bergegas pulang. Sebelum sampai di depan pintu, temanku berlari menghampiriku seperti habis melihat setan. Dia membisikkan sesuatu di telingaku ‘ada pacarnya di sini‘ . DEG. Aku biasa saja dan masih terlihat normal seolah olah tidak ada sesuatu yang membuat lututku lemas seperti ingin pingsan. Aku berjalan ke pintu keluar dan melihatnya dengan kekasihnya. Cantik, putih, dan Cina. Mereka berboncengan, dan motornya melaju saat adzan maghrib hampir berkumandang, entah kemana, aku tidak ingin tahu.

Ada rasa yang tidak kumengerti. Seolah tidak rela namun aku bisa apa? aku bukan siapa-siapa, hanya teman yang baru dikenal. Imajinasiku tentang aku dan dia di masa depan perlahan runtuh. Tidak akan ada kita, yang ada hanya kau dengan kekasihmu dan aku dengan bayanganku. Tidak jauh berbeda. Air hangat tiba tiba mengalir di kedua pipi membentuk semacam sungai kecil. Aku menangis, tanpa disadari aku menangis. Bukan karenanya, tapi karena aku yang dengan begitu bodohnya masih mengharapkannya disaat dia sudah bahagia dengan wanitanya. Angan angan yang terlalu tinggi membuatku sulit berpijak hingga aku menjadi seorang yang imajiner. Lalu aku bisa apa? aku masih mencintai senyumnya, dan belum ada yang bisa menggantikan senyumnya sejauh ini.

Ah, apa lagi yang harus aku perjuangkan untuknya? Dan untuk apa aku masih terus berjuang demi orang yang lebih memilih pergi dengan kekasihnya dibandingkan dengan menenggelamkan punggungnya di masjid dan berusaha lebih dekat dengan Tuhannya? Meninggalkan sholatnya saja mudah, apalagi hanya untuk meninggalkan seorang wanita?

Aku membuat segenap fakta yang bisa merobohkan dinding cinta yang sudah kokoh berdiri.

Aku begitu hangat saat itu. Mungkin sedang cemburu dan patah hati sekaligus. Mengapa aku layak untuk patah hati? Mengapa aku selalu dibiarkan jatuh hati kalau selalu berakhir dengan patah hati? Aku lelah mengumpulkan kepingan kepingan hati untuk kemudian menjadikannya baru lagi untuk kemudian dipatahkan lagi. Sesekali aku tidak ingin berjuang, tapi aku ingin diperjuangkan oleh seseorang yang kuharapkan.

Aku mencintaimu, karena itu aku mengikhlaskanmu.

-END-


0 komentar:

My Mom

Minggu, September 01, 2013 Unknown 1 Comments

Sesekali, cobalah untuk tidur bersama ibumu. Tidak perlu sampai berhari-hari, cukup satu malam saja. Pada saat malam sudah mulai larut, saat hiruk pikuk kehidupan sudah tak terdengar, saat hanya tinggal kedua matamu yang masih terjaga, pada saat itu pula, perhatikan dengan seksama orang yang sedang berbaring di sampingmu, ibumu.

Aku melakukan ini beberapa minggu yang lalu sebelum aku pergi lagi meninggalkan ibuku sendirian. Pada malam itu, aku meminta untuk tidur bersama ibuku. Ibuku cepat terlelap, mungkin lelah karena seharian membereskan pekerjaan rumah yang kata ibuku tak pernah ada habisnya. Sekilas sepele, hanya memasak, mencuci pakaian, menyapu dan hal-hal kecil lainnya. Tapi pastinya tidak akan sesepele itu mengingat setiap malam, saat ibuku menonton TV bersamaku, tanpa disadari ibuku sudah memejamkan mata barang beberapa detik lalu kemudian terjaga lagi, kembali mengomentari acara TV yang semakin tidak karuan. Begitu terus hingga beberapa kali sampai akhirnya ibuku menyerah dan masuk ke kamarnya untuk mengistirahatkan badan.  Malam itu, aku memperhatikan ibuku dengan seksama, seolah olah aku akan pergi jauh dan baru akan pulang setelah sekian lama. Malam itu, aku menagis sesegukan, tanpa suara, dibarengi dengan desahan napas yang teratur milik seseorang yang namanya tak pernah ketinggalan kusebut dalam setiap doa. Air mata masih mengalir dan perlahan lahan menghanyutkanku sampai ke masa lalu dan segala kenangan tentang ibuku, membuat hati semakin pilu.
---
Ibuku sudah tua sekarang. Rambutnya sudah mulai beruban, kerutan di wajahnya sudah mulai tampak jelas. Sebulan sekali setiap aku pulang dari tanah orang, hal yang pertama ibuku minta adalah mencabuti uban di rambutnya. Ibuku tidak ‘neko-neko’, tidak mencoba coba untuk menyemir rambutnya agar tetap kelihatan hitam. Sudah wajar katanya, toh suatu saat nanti juga tetap akan mengalami hal itu, buat apa bertingkah yang macam-macam. Ibuku juga tidak terlalu suka dandan, sewajarnya saja. Sekalipun berdandan, hanya mengoleskan bedak murah biasa ke wajahnya dengan pemerah bibir seadanya. Setahuku hingga detik ini, ibuku tetap seperti itu.

Dulu ibuku pernah bercerita kalau ibuku bercita-cita menjadi seorang guru Matematika. Sayangnya, cita-citanya kandas di tengah jalan karena eyangku tidak punya biaya banyak untuk menyekolahkan ibuku. Tapi, sisa sisa kecintaannya terhadap Matematika masih terlihat saat aku sudah masuk SD. Setiap hari, aku diajari matematika oleh ibuku. Bahkan saat itu, aku menganggap guru matematika dan guru SD terbaikku adalah ibuku. Aku tidak TK. Saat aku masuk SD, aku sudah lancar membaca, menulis dan berhitung. Itu semua berkat ibuku yang mengajariku dengan telaten setiap hari sebelum akhirnya aku didaftarkan ke SD.
Tidak banyak yang tahu kalau aku selalu mendapatkan ranking 1 dari awal masuk SD sampai lulus SD bahkan hingga SMP kelas 1. Tidak bisa dibanggakan memang karena itu hanya di tahapan Sekolah Dasar. Ibuku juga demikian, tidak pernah membanggakan aku di depan orang orang kampung seperti ibu ibu lain yang selalu membanggakan anaknya, entah karena prestasinya di sekolah atau karena hal-hal yang lain. Ibuku bersikap seolah olah aku anak yang bodoh sekali karena itu apa yang mau dibicarakan ke orang-orang? Sikapnya kadang kadang dingin dan cuek, dengar nilai ulanganku 10 pun, ibuku hanya menanggapi seadanya. Ibuku hanya akan bereaksi saat nilai ulanganku jelek. Tanpa ini itu, ibuku langsung menceramahiku sepanjang hari, menyuruhku supaya belajar lebih giat dan sebagainya. Setidaknya, ibuku sangat perhatian pada sekolahku, sampai detik ini.
Ibuku disiplin. Saat aku masih sekolah dulu, Ibu tidak akan pernah membiarkanku pulang malam, nginep di tempat teman tanpa alasan yang benar benar bisa meyakinkan ibuku, bermain-main ke tempat yang jauh-jauh meskipun bersama teman-temanku dan apapun yang berhubungan dengan bermain. Kalaupun aku diizinkan pergi, aku harus memberikan alasan yang jelas, pergi bersama siapa, pergi kemana, pulang jam berapa, dan hape tidak boleh dimatikan. Aku sering ngambek dan bertanya tanya kenapa aku tidak mempunyai ibu seperti teman-temanku, yang memberikan sedikit kebebasan. Aku ngomel ngomel sepanjang hari, tapi aku menuruti semuanya. Kehidupan masa sekolahku monoton, hanya sekolah lalu pulang lagi ke rumah, keluar rumah untuk les dan sesekali bermain meskipun harus membohongi ibuku terlebih dahulu tapi pada akhirnya tetap mengaku. Dulu aku protes, tapi sekarang aku benar benar paham akan kehawatiran seorang ibu terhadap putrinya.

Jujur adalah hal yang selalu diajarkan oleh ibuku. Tidak boleh berbohong atas alasan apapun. Kata ibu, jujurlah yang akan menyelamatkan kita pada akhirnya. Dan dulu, ibuku hanya bermodalkan kejujuran untuk bisa mendapatkan posisi kerja yang lumayan di sebuah kantor, padahal ibuku pada mulanya hanyalah seorang baby sister dari anak pemilik kantor itu. Jujur memang susah, dulu aku juga sering berbohong meskipun pada akhirnya cerita juga karena tidak bisa nyenyak tidur. Sampai sekarang pun, kadang aku masih berbohong, tidak bisa dipungkiri aku langsung tidak bisa tidur semalaman.

Ibuku juga mengajarkan untuk selalu menghargai orang, sejelek apapun orangnya, semenyebalkan apapun orangnya. Menjaga sikap, menjaga lisan, dan jangan sampai menyakiti hati siapapun dengan lisan kita. Kata ibu,’ wong kadang kita sudah bersikap baik sama orang juga kita masih bisa dibenci orang, apalagi kalau kita nggak baik sama orang. Ini susah, sangat susah dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Setidaknya, aku selalu mengingat kata-kata ibuku yang ini.

Sama denganku, ibuku tidak pandai ngobrol. Lebih sering diamnya kalau sedang bersama orang banyak, jadi pendengar. Karena itu ibuku tidak suka bergossip, membicarakan orang kesana kemari saat pekerjaan rumah sudah selesai. Jarang sekali terlihat ibuku pergi ke rumah tetangga, hanya sekadar untuk kumpul kumpul. Ibuku memilih di rumah saja meskipun sendirian.

Ibuku menjengkelkan. Saat marah karena tingkahku yang keterlaluan, ibuku tidak segan segan memukulku dengan barang apa saja yang ada di dekatnya. Ibuku juga cerewet, selalu melarangku ini itu.  Ibuku tidak membelikan apa saja yang aku minta, ibuku justru memintaku untuk menabung sendiri kalau ingin membeli sesuatu.

Aah, ibuku saja tidak pernah membicarakan keburukanku, lalu mengapa aku masih bertingkah seperti barusan? Memalukan.

---

Aku menatap ibuku lagi yang tidurnya semakin pulas. Aku menangis lagi mengingat aku masih jadi seorang anak yang demikian tidak pantas dibanggakan. Aku masih menjadi anak yang pemalas. Sering membantah saat diperintah ibuku walau hanya untuk menyapu lantai. Di saat sudah kuliah pun aku masih belum bisa membanggakan ibuku, dengan IP yang masih pas-pasan, ilmu yang tidak diamalkan, dan  sering bilang kalau sudah malas kuliah padahal ibuku berharap banyak dariku.

Aku mendengar desah napasnya dengan teramat jelas. Desah napas yang mulai panjang-panjang, menandakan umur yang sudah tidak muda lagi. Lalu di dalam hatiku yang paling dalam tanpa sadar aku berjanji akan membahagiakan ibuku. Membayangkan semua yang sudah dilakukannya untukku, itu sudah tak terhitung banyaknya. Aku pikir, aku hanya bisa menggantinya dengan doa yang kupanjatkan setiap hari, itupun masih belum bisa membalas semua kebaikan ibuku terhadapku.

Aku kehabisan kata-kata.

Aku menyayangi ibuku lebih dari apapun meskipun tidak pernah diungkapkan secara langsung. Aku menyukai segala hal yang ada dalam diri ibuku. Aku tahu, alasan aku rindu rumah setiap kali ada di kota orang adalah ibuku. Alasan pulang ke rumah adalah ibuku, tidak ada yang lain. Aku merindukan omelan omelannya yang panjang dan melelahkan untuk didengar. Aku merindukan semuanya..

Ah, malam itu aku mengerti betapa aku menyayangi wanita yang sedang tidur dengan pulasnya itu dan betapa aku tidak bisa lama lama jauh dari sosoknya. Saat jauh, aku cepat rindu.


Lagi lagi aku kehabisan kata-kata, lalu aku menangis lagi, sampai akhirnya aku tidur tanpa kusadari.. 

1 komentar: