Jemput Aku, Sendiri Saja
Jemput Aku, Sendiri Saja
Jingga milik senja telah menggulung
biru milik langit. Warna bumi serentak menjadi orange, lalu perlahan tapi pasti
semburat warna orange itu kemudian pecah menyebar digantikan oleh hitam dan
pekatnya warna malam. Pemilik alam menyeret lampu besar milik jagad raya ke
dalam ruangannya, menjadikan bumi mendadak diliputi gulita, lalu Dia menukarnya
dengan cercahan cahaya yang tidak ada apa-apanya. Bulan namanya. Namun tiada
yang bisa menyainginya meskipun seluruh cahaya dari alam lain berkumpul dan
bersatu untuk menundukkannya. Sinarnya terlalu lembut dan hangat untuk
digantikan siapapun. Bulan itu dingin. Dinginnya itu membangkitkan luka dan
seakan menjadi mesin waktu instan yang bisa membawa kita ke pusaran kenangan
menyakitkan. Sayangnya tatapan anggunnya mampu membuat seluruh alam menyerahkan
sebagian hari mereka padanya, 12 jam penuh tidak lebih dan tidak kurang. Keteguhannya
sanggup membuat mereka percaya bahwa mereka akan tetap nyaman dalam dingin
sekalipun. Dari kejauhan, lampu besar itu tersenyum dari balik pintu ruangan
Tuannya, sepertinya dia menemukan teman untuk menjaga alam agar tidak
kehilangan cahaya.
Malam ini, aku tahu kalau bulan
sedang benderang. Mungkin dia sedang senang namun tetap tenang, tetap anggun,
tidak seperti manusia yang selalu berlebihan saat mereka sedang senang dan akan
berlebihan juga saat mereka dirundung duka. Lihatlah aku, manusia yang begitu rapuh
dan lusuh. Cermin besarku memantulkan bayanganku yang begitu buruk. Mataku
sembab karena menangis semalaman dan rambut panjangku entah sudah berapa lama
aku biarkan terurai tanpa tatanan. Seharusnya aku malu pada bulan. Tapi aku
berteriak pada diriku sendiri, ‘aku bukan
bulan yang bisa tetap tegar menghadang badai, AKU BUKAN BULAN!’. Aku
mengelak mati matian, tapi pada kenyataannya aku tidak bisa menghindar dari
kenyataan bahwa aku memang malu pada bulan yang sanggup tegar meniti malam
malam yang mulai kurang ajar. Sekali lagi, aku memandang cermin, melihat aku
yang mulai lain dan aku malu pada bulan.
Kemudian aku teringat akan sosok
dengan senyum yang membuat separuh jiwaku melayang ke kahyangan. Dia berjalan
dengan seorang wanita berkulit putih bersih dan mata yang hanya tampak seperti
garis lurus itu. Mereka berjalan menjauhi bayanganku, tertawa bersama lalu
bergandengan tangan menuju masa depan. Aku berdiri tegak, tertegun menatap
punggung yang semakin lama semakin jauh meninggalkanku. Aku tersenyum mantap
tapi bayanganku sudah terduduk lemas, terlalu jujur dan terlalu frontal
menunjukkan kesedihan. Sosok itu, pemilik senyum itu adalah orang yang sedang
kucintai sekaligus sedang membuat hatiku nyeri (tanpa pernah dia sadari).
Senyum itu sama seperti yang kulihat pertama kali. Yang berbeda hanyalah
perasaanku yang semakin rakus ingin memilikimu dan rasa sakit yang menyerang
ulu hatiku tiap kali aku semakin ingin memilikimu. Yang berbeda hanyalah kamu
sudah bersama seseorang yang mencintaimu sekarang. Tapi, yang tetap sama adalah
aku, aku yang masih sendiri seperti saat pertama kali aku meletakkan hatimu di
hatiku dan aku yang selalu berdebar tiap kali melihat senyum ajaib itu.
Sesederhana itu keadaan kita sekarang. Bagimu ini mudah, tapi bagiku ini lebih
dari musibah.
Tubuhku seperti dicabik-cabik
waktu. Paru-paruku layu. Degupan jantungku memompa kehidupan yang ragu-ragu. Mataku
sayu, terlalu lama melihat adegan mesra antara kamu dan kekasihmu. Tapi bahuku
ternyata lebih kuat daripada karang laut. ‘Deburkan
saja ombak yang keras ke tubuhku, silahkan!’ Pembuluh darahku perlahan
lahan berfungsi lagi setelah mati suri lalu mengalirkan kekuatan ke setiap ons
takdirku. Takdir untuk tetap hidup meskipun harus patah berkali-kali. Bukankah
manusia itu tidak pernah jera dengan cinta meskipun lara?
Aku merebahkan badanku di kasur.
Aku mulai berpikir kalau aku mulai gila karena cinta bodoh ini. Iya, mencintai
orang yang sudah dicintai orang lain adalah hal bodoh menurutku. Tapi, bukankah
sebenarnya kita juga tidak menginginkan hal menggelikan itu terjadi? Bukankah
kita tidak berkuasa atas cinta? Yang Maha Memiliki Cinta lebih berkuasa
membolak-balikkan hati, menabur cinta dan bahkan mencabut kasih. Aku menggeser
posisi tidurku, membolak-balikkan badan di atas kasur yang mulai uzur dimakan
umur. Kemudian aku berpikir lagi tentang cinta yang harus satu. Cinta tidak
boleh dua, cinta maksimal empat dan seterusnya. Jika cinta itu matematis, pada
angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia bablas? Seandainya cinta tak
harus satu mungkin kami bisa menyatu tanpa takut terjerembab ke lereng waktu.
Aku kembali kuat. Meskipun cinta
sialan itu hampir membuatku sekarat dan berkarat. Aku masih mampu berharap
bahwa suatu saat hatiku akan utuh lagi dengan kamu sebagai pelengkap. Bagiku,
patah hati yang terlalu cepat adalah konsekuensi atas proses jatuh cintaku yang
cukup singkat. Karena semuanya begitu cepat, aku harus bangkit lagi dengan
sigap. Cinta menungguku di depan mata. Aku harus jatuh cinta lagi kepadamu
sejak awal, meskipun aku harus terluka lagi dan terluka lagi selama kamu masih
menggadaikan senyummu kepada pemilik mata sipit itu. Aku belum lelah melihat
hatiku patah.
Entah aku bodoh atau keras kepala
atau tidak bisa menerima kenyataan bahwa kamu telah berdua. Aku tidak tahu. Nyatanya
aku masih belum jera menambatkan hati di dermaga milikmu tanpa sepengetahuanmu
tentu saja. Dan aku tidak mau kamu sampai tahu. Anggap saja aku terlalu
mencintai diri sendiri karena aku memilih untuk tidak mengungkapkannya
kepadamu, terserah. Bagiku, cinta tidak harus diucapkan dan ditunjukkan secara
berlebihan. Tanpa kita menunjukkan pun, alam telah memperlihatkan terlebih
dahulu lewat angin yang berhembus menerabas helaian rambutmu. Aku masih
menunggu tangan tangan alam bergerak mendekatkan sisi kanan pundakku dengan
sisi kiri pundakmu, lalu kita menjadi sangat dekat dalam waktu yang singkat dan
kita saling memeluk erat. Persetan dengan orang yang enggan menunggu, hanya
karena takut dikatakan terlalu lemah dan bodoh. Persetan dengan penantian tanpa
akhir. Bukankah selalu ada janji sebuah pertemuan di setiap penantian? Kita
saja yang tidak mau menunggu semenit lebih lama dan menyimpulkan terlalu cepat
tentang janji itu. Sekali lagi, sekilas senyummu mampu membuatku percaya bahwa
janji itu nyata, bahwa kita akan bertemu di ujung penantian masa. Seketika aku
teringat mata milik kekasihnya. Seketika itu pula aku ingin menyerah karena
penantian itu sudah pasti akan membuat jengah dan gerah. Aih, dimana rasa
percayaku yang tadi. Payah
CUKUP !
Sepertinya aku mabuk. Duniaku
seperti terjungkir kemudian terbalik. Bicaraku mulai ngawur, campur campur dan
tidak beralur. Mudah saja aku mengatakan A dan setengah detik kemudian aku
berkata B, menyangkal segala yang telah kuucapkan sebelumnya. Aku memang mabuk.
Ruang panjang tenggorokanku barangkali telah dialiri arak berpuluh puluh
tenggak.
Pergilah. Pergilah menuju senja. Tenggelamkan
punggungmu disana bersama siapapun yang menjadi pilihanmu kini. Lalu aku akan
berjalan menuju pagi, menghangatkan raga yang kembali mendingin sejenak setelah
punggungmu hilang dari pelupuk mataku, bercampur bersama bubuk orange dari surga.
Aku akan berlari menuju pagi paling hangat yang pernah ada, siapa tahu langkah
jenjangmu berhasil menjangkau pagi lebih cepat daripada yang aku kira, dan kita
akan bertemu. Seperti pertemuan pertama kita, aku sendiri dan kamu sendiri.
Kamu sedang terluka dan aku akan menutup luka dengan bahagia yang kupunya. Aku
akan membungkus lara dan kenangan lama. Dan kita akan bersama, sampai renta,
sampai senja tak lagi ada.
***
Aku bangun dan berjalan menuju cermin
dan masih melihat orang yang sama. Orang dengan keadaan terburuk sepanjang
masa. Kemudian aku menarik kedua ujung bibirku, memaksakan senyum untuk
kemudian bisa benar-benar tersenyum. Aku mengambil sisir lalu merapihkan
rambutku perlahan, seperti menata kembali harapan yang baru saja pencar. Aku
memperhatikan cermin, kupikir ini lebih baik dan pasti akan tetap baik-baik
saja. Diam diam, di balik singgasana langit, bulan melihatku dengan tersenyum. ‘Kamu tidak perlu lagi malu kepadaku’
katanya sambil lalu.
Sampai jumpa pemilik senyum
kesayanganku. Berlarilah menuju senja sampai kamu bertemu pagi. Aku menunggumu
di setiap pagi yang hadir menyapa. Datanglah sendiri dan tanpa ragu aku akan
menjemputmu dengan berlari.
-END-
Note:
Apa kau berpikir kalau aku benar benar ‘AKU’? Jika iya, itu adalah kesalahan
besar.
0 komentar: