Sebuah Fenomena
Sebuah Fenomena
When the
sale come first
And the
truth come second
Just stop
for a minute and smile
( Price
Tag – Jessie J feat B.O.B )
Tidak ada hal yang istimewa di lagu
ini. Ini hanya sebuah lagu yang sering didengarkan oleh generasi gaul masa
kini. Tapi coba letakkan perhatian anda pada sebuah bait di atas. Mungkin anda
akan tersenyum lebar seperti apa yang sedang saya lakukan sekarang. Lucu
sekaligus miris.
Lagu ini seakan-akan berusaha
menyentil mereka mereka yang hidup glamour, money oriented, yang lupa akan
tujuan utama mereka datang ke dunia –yang jelas bukan untuk berbelanja.
Fenomena iming iming diskon di
berbagai pusat perbelanjaan dalam moment moment tertentu rupanya masih digandrungi sebagian besar
masyarakat Indonesia, mulai dari kalangan biasa dengan uang di dompet yang
seadanya sampai kalangan kelas atas yang ternyata juga menggemari barang
diskonan. Papan papan besar bertuliskan ‘Diskon 50% + 20%’ di keranjang besar
berisi pakaian yang katanya ‘bermerek’ kadangkala membuat orang kalap
berbelanja. Betapa bangganya ketika berhasil membeli pakaian yang seharusnya
seharga Rp 499.900 menjadi Rp 200.050. Coba pikirkan lagi ‘siapa yang benar
benar tahu kalau harga asli pakaian tersebut memang Rp 499.900?’. Siapa yang
tahu dan mau tahu? Toh nyatanya tidak ada yang peduli ketika wabah diskon besar
besaran dan gempuran dari SPG SPG malang mulai menyerang pertahanan iman.
Di saat banyak orang masih kelimpungan
memikirkan bagaimana caranya mendapatkan sesuap nasi, kesulitan tidur nyenyak
tanpa harus dibayang bayangi hutang, kesulitan menghilangkan predikat jomblo
veteran *eh, kegiatan belanja dengan iming iming diskon nyatanya tak pernah benar
benar musnah. Menghabiskan waktu berjam-jam di pusat perbelanjaan untuk
berdesak desakkan mengejar diskon demi membawa pulang puluhan kantong belanja. Ternyata
masih banyak orang kaya di Indonesia, meskipun tak sebanyak fakir asmara.
Coba kita intip isi lemari mereka
mereka yang suka berbelanja –dan suka diskonan tentu saja. Coba lihat berapa
banyak pakaian yang sia sia di lemari sang shopaholic ini. Sekali pakai,
terlupa gara gara sudah ada penganti yang baru. Masih jauh dari kata tidak
layak pakai, sudah berakhir menjadi kain pel darurat. Lalu, apa yang mereka
sebut harga? Saya curiga jangan jangan mereka tak mengenal kata mahal, semuanya
dianggap murah semurah harga mie biting super pedas. Dahsyat sekali. Ini sangat
ironis dengan kehidupan saya tentu saja yang harus berpikir ribuan kali sebelum
membeli pakaian gahol ala ala model di sampul majalah fashion ( yang sudah
didiskon ). Saya selalu berpikir ‘apakah setelah membeli baju ini, masih akan
tetap ada asupan rames warteg sampai akhir bulan?’,’apakah status jomblo saya
menjadi hilang ketika saya memakai baju ini?’ dsb. Pada akhirnya, saya gagal
membeli pakaian tersebut. Karena rupanya selain iman saya yang masih cukup kuat
untuk menahan terpaan diskon yang bertubi tubi, saya juga masih ingin makan
nasi lauk di saat paling krisis seorang anak kos dibandingkan menjilati baju
yang saya beli ketika lapar melanda *paham maksud saya?*
Kadangkala saya berusaha mengakumulasi
jumlah uang belanja mereka setiap bulannya. Bisa jadi jumlahnya setara dengan
gaji rector di sebuah universitas. Atau, jika sang shopaholic masih level 1
alias yang kayanya masih setengah setengah, uang belanja mereka mungkin bisa
digunakan untuk membayar kost saya selama satu semester. Sedih. Dan dari semua
yang saya paparkan, satu yang paling jelas di sini adalah saya iri.
Saya termasuk dalam golongan orang
yang iri terhadap mereka yang dengan mudahnya mendapatkan kesenangan mahal
dengan mudahnya, sedangkan saya harus berjuang sedemikian kerasnya hanya untuk mendapatkan
kesenangan murah, ice cream coklat di akhir bulan misalnya. Murah sekali bukan
keinginan sederhana saya? Sungguh ironis memang, ketika masih ada seorang anak
kos jomblo bertampang unyu menginginkan sepotong ice cream cokelat di
akhir bulannya yang merana diantara orang orang yang kalap berbelanja mengejar
diskon Natal dan akhir tahun. Sebuah fenomena yang seharusnya perlu dibenahi.
© Hasil adaptasi dari sebuah artikel
berjudul ‘Sebuah Percakapan’ karya Andi Gunawan ©
Jadi, kesimpulannya adalah jangan buang "hajat" sembarangan. I see :D
BalasHapus