Berbeda Beda, karena Memang Beda (?)
Berbeda Beda, Karena Memang Beda (?)
Bhineka Tunggal Ika kini telah
mengalami penyusutan makna, bahkan nyaris kehilangan maknanya. Aktualisasi ‘berbeda-beda
tetapi tetap satu jua’ menjadi amat langka dewasa ini. Masyarakat semakin hari
semakin menyalahartikan sebuah perbedaan yang pada akhirnya perbedaan justru digunakan
sebagai senjata penghakiman bahwa suatu kelompok lebih baik dari kelompok
lainnya. Sebuah perbedaan yang seharusnya menjadi motivasi peningkatan motivasi
peningkatan integritas bangsa beralih fungsi seiring dengan maraknya modernitas
pemikiran yang dipengaruhi oleh rasa ingin bersaing. Apakah ini berarti bahwa
semakin modern pemikiran sebuah bangsa, perbedaan akan terlihat semakin tajam?
Atau ini hanya terjadi pada sebuah bangsa yang pemikiran modern masyarakatnya
didapat secara instan? Pemahaman yang kurang akan arti dari perbedaan mungkin
mengambil peran penting di setiap centimeter penyusutan makna Bhineka Tunggal
Ika.
Mereka mungkin tidak sengaja
memisahkan diri dari mayoritas. Tetapi, dengan alih-alih bahwa ideologi premature
mereka tidak sejalan dengan kebanyakan, mereka akhirnya mulai membuat jarak. Jarak
sempit untuk permulaan untuk kemudian menjadi semakin lebar dan semakin susah
dirangkul untuk kembali disatukan. Beberapa menganggap ini sepele, hanya sekadar
soal memilih teman nongkrong, teman curhat dan tidak menutup kemungkinan teman
tidur ( siapa tahu? ). Coba lihat dari atas, bukankan akan semakin terlihat
parit pemisah antara satu kelompok mahasiswa dengan kelompok mahasiswa lain?
Ini adalah bentuk awal dari sebuah perpecahan dalam sebuah institusi
pendidikan.
Anggap saja hal ini adalah hal yang
tidak terhindarkan, sudah sejak awal ada scenario sebuah perguruan tinggi.
Anggap saja begitu supaya tidak semakin rumit. Mungkin banyak yang lupa bahwa
selalu ada hal penting di balik sesuatu yang dianggap sepele. Ada banyak hal
luar biasa yang dimiliki oleh para mahasiswa yang dianggap remeh oleh mahasiswa
lainnya yang merasa lebih superior. Sayangnya hal luar biasa itu tidak pernah
dianggap nyata, toh nyatanya masih ada yang (merasa) lebih segala galanya.
Ditambah lagi keengganan mencari tahu yang sudah mengakar sampai kea lam bawah
sadar. Kalau begini siapa yang salah dan siapa yang benar? Mari kita telaah
soal pengklasifikasian illegal mahasiswa ini dengan pembagian sebagai berikut :
Akademisi Tulen, Organisator, Anak Gaul, dan yang tidak ketiganya.
Kelompok Akademisi adalah dimaksud
adalah mereka yang selalu berorientasi pada nilai. Kuliah itu ya untuk belajar
dan mendapatkan hasil yang memuaskan pada setiap ujian. Kuliah itu ya untuk
mendapatkan nilai A. Mahasiswa semacam ini biasanya disebut mahasiswa kupu-kupu
( kuliah-pulang-kuliah-pulang ). Interaksi sosial yang payah tetapi dengan integritas
yang bisa dibilang lumayan. Kombinasi yang buruk, tapi paling tidak ada yang
bisa dibanggakan. Integritas, IP Cumlaude sempurna, dan berada di pelukan setiap dosen karena prestasi akademiknya. Yah, semacam itulah.
Kelompok kedua adalah Organisator.
Organisator adalah orang orang hiperkatif. Mereka bergelut dalam kelembagaan
kampus. Bahkan jika manusia tidak mengenal kata lelah dan ngantuk atau satu
hari tidak hanya terdiri dari 24 jam, mungkin mereka akan menghabiskan seluruh
hidupnya untuk mengikuti seluruh organisasi yang ada. Sebut saja mereka
mahasiswa kura-kura ( kuliah-rapat-kuliah-rapat). Beberapa organisator memang
dilahirkan untuk berorganisasi tapi beberapa lainnya yang kesetanan mengikuti
hampir semua organisasi, organisasi hanya dijadikan ajang eksistensi bahkan ada
yang hanya untuk ajang pencarian jodoh. Supaya telinganya selalu mendengar ‘cieee
yang sibuk rapat’ di detik yang dilaluinya.
Organisator adalah orang yang paling
gencar menyuarakan ‘berorganisasi itu penting, berorganisasi itu menyenangkan,
berorganisasi itu bla bla bla’. Tidak jarang ditemui, orang orang yang aktif
dalam organisasi mengesampingkan orang yang tidak mengikuti organisasi. Selalu
bertanya dengan tatapan sinis ‘kamu ikut organisasi apa?’ kepada orang yang
jelas jelas tidak berorganisasi. Lalu mereka tersenyum menang ketika ada
jawaban ‘aku nggak ikut organisasi apa apa nih’. Wow, semakin terlihat jelas
bukan kalau berbeda beda karena memang
beda?
Bersosialisasi dengan banyak orang
mungkin adalah suatu pencapaian aktualisasi diri, tapi bukan berarti
mengesampingkan tugas utama sebagai seorang mahasiswa, belajar. Menjadi
organisator seharusnya bukan alasan menunda kelulusan hingga satu atau dua
tahun lebih lama. Saking sukanya rapat, tidak sedikit dari mereka yang sukanya
merapatkan tubuhnya ke lawan jenis. Sangat rapat. Kan memang sukanya ‘rapat’.
Kelompok ketiga adalah Anak Gaul. Mereka
tidak beorientasi pada nilai, mereka juga tidak gila organisasi, tapi berita
buruknya mereka gila fashion. Mereka datang ke kampus dengan pakaian model
terbaru. Terlihat paling mencolok di antara manusia manusia normal. Kalau
mahasiswi, biasanya ditandai dengan dandanan ala ala SPG, sepatu highheels, tas
bermerek, rambut lurus selurus lurusnya rambut lurus atau justru sengaja dibuat
ikal di bagian bawah rambutnya, fashion model paling anyar, gadget canggih. Tapi
kalau mahasiswa, biasanya mereka tampil sok cool, sepatu cats atau sneaker,
kaos oblong bermerek, jeans belel, pokoknya gaul. Dua kelompok di awal
menganggap mereka hedonis atau entahlah apa namanya.
Ketiga kelompok ini bisa dipastikan
saling menganggap remeh satu sama lain. Menganggap kelompoknya lebih unggul
dibandingkan kelompok lainnya. Akademisi menganggap organisator terlalu banyak membuang
waktu untuk kumpul kumpul tidak penting. Organisator menganggap Anak Gaul tidak
punya keunggulan apapun selain bersolek. Anak Gaul mulai merendahkan Akademisi
dengan berkata bahwa hidup tidak hanya untuk membaca buku tapi hidup juga butuh
interaksi dengan sesamanya. Manusia kan makhluk sosial, bukan antisosial. Lalu
ketika lingkaran saling menyalahkan semakin tak bisa diputus, akhirnya mereka
mulai mencari cari kelompok yang derajatnya lebih rendah dibandingkan mereka.
Siapa lagi kalau bukan kelompok yang tidak masuk ketiga-tiganya.
Kelompok ini adalah kumpulan orang
orang yang tidak termasuk di kategori manapun. IP pas pasan, tidak pernah
berorganisasi, tampilan cupu. Biasanya mereka bergerombol kesana kemari,
menciptakan dunia sendiri, berusaha menutup telinga rapat rapat supaya tidak
mendengar komentar macam macam dari kelompok kelompok diatas. Saat si kupu kupu
berkata ‘mau sampai kapan IP di bawah standar?’, lalu kemudian kura kura
berseru ‘ikutan organisasi dong biar hidup nggak datar, biar kenal orang orang
baru. Hissh’ dan pada akhirnya Anak Gaul pun berkomentar ‘Cupu banget sih gaya
lo, kayak gue dong!’. Bukankah cara yang paling baik adalah menghindar. ‘Peduli
apa soal jurang pemisah? Terlanjur sakit hati’.
Pengelompokkan ini bukanlah hal yang
baik untuk dipertahankan. Para mahasiswa seharusnya cukup dewasa untuk berpikir
bahwa integritas adalah pilar yang seharusnya tidak bercabang. Bukankah tidak
semua yang bercabang itu baik? Kelamin ganda misalnya.
Mengapa sulit sekali belajar
menghargai sebuah perbedaan untuk mencapai rasa kebersatuan yang utuh? Dengan
begitu, semua bisa beradaptasi dengan lebih baik lagi. Ayolah, kembalikan lagi
makna ‘Bhineka Tunggal Ika’ ‘Berbeda
beda tetapi tetap satu’ bukan ‘berbeda
beda karena memang beda’.
©adaptasi dari
karya Andi Gunawan ‘Separatisme Kekinian’©
0 komentar: