Dunia Sophie
©Dunia
Sophie dan Segala Efeknya©
Saya Atika Nugraheni. Seorang
mahasiswa yang oleh takdir dipertemukan dengan sebuah mata kuliah bernama
‘Sejarah Pemikiran Modern’ dengan dosen pengampu mata kuliah yang sangat super
bernama Bu Ellen Kristi Nugroho. Entah ini takdir yang indah atau justru takdir
yang akan sedikit menodai kebahagiaan semester 3 saya. Sebut saja ini takdir abu
abu pada awalnya, takdir hitam pada tengahnya, dan berakhir pada sebuah takdir
yang sedemikian pink pada akhirnya.
Semuanya berawal dari sebuah buku
berjudul Dunia Sophie. Buku ini sudah tidak asing lagi bagi saya karena saya
pernah membacanya hampir separuh lebih ketika saya masih duduk di bangku kelas
1 SMA, ketika saya belum mengerti benar apa itu filsafat. Saya tidak pernah
benar benar mengerti apa isi buku ini. Yang saya tahu adalah saya tidak pernah
bisa mengerti cerita yang disajikan tentang buku ini, hilang begitu saja
kecuali nama tokohnya. Hingga pada akhirnya, saya kembali dipertemukan dengan
‘Dunia Sophie’-nya Jostein Gaarder di usia saya yang sudah 18 tahun di sebuah
kelas filsafat di sebuah universitas. Sebuah kebetulan yang tidak pantas
untuk disyukuri. Dunia Sophie hadir kembali di kehidupan saya dan dimulai dari
detika pertama ketika saya membaca halaman satu, sebuah petualangan menyelami
samudra bernama filsafat DIMULAI.
Dosen saya,Bu Ellen, selalu meminta kami untuk membaca
beberapa bab sebelum perkuliahan. Sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam
tahapan mencapai predikat rajin, saya membacanya dengan seksama meskipun tidak
pernah selesai. Mentok mentoknya, dari 3 bab yang seharusnya dibaca, saya hanya
mampu membaca satu setengah bab saja. Itupun sudah dengan teramat terseok-seok
dan tetap saja tidak bisa paham. Mungkin saja ini pengaruh usia atau mungkin
saya mewarisi gen DDR ( Daya Dong
Rendah) dari nenek moyang saya. Sudahlah, yang jelas, setiap saya mengikuti
perkuliahan dan setiap Bu Ellen melemparkan pertanyaan random yang kebetulan
jatuh kepada saya, saya hanya bisa menjawab seadanya bahkan terkesan
asal-asalan dan tidak sesuai dengan topik. Berkebalikan dengan teman teman saya
yang selalu menjawab dengan sempurna. Ah.. bodoh sekali ya.
Saya termasuk orang yang tidak terlalu
mempunyai minat yang besar dengan dunia filsafat. Selain itu, saya juga tidak
mempunyai kemampuan untuk memahami sebuah permasalahan baru ( terlebih lagi
permasalahan yang rumit ) dengan cepat. Ketika minat yang kurang digabungkan
dengan kemampuan pemahaman yang kurang, dan tetap ‘ngotot’ menginginkan sebuah pemahaman, yang muncul hanyalah sebuah
keinginan belajar yang pasang surut. Saya mengalami hal yang demikian. Otak
saya sangat susah diajak kerjasama untuk memahami filsafat dan sejarah
pemikiran modern tetapi ada sesuatu di dalam hati saya yang memaksa saya untuk
tetap mencoba paham. Yang harus saya lakukan adalah berperang melawan rasa
malas dan ketidakminatan saya, untuk menghasilkan paling tidak secuil pemahaman
mengenai filsafat dan antek anteknya.
Selama ini, saya tidak mengetahui dan
tidak pernah berusaha mengetahui tentang bagaimana sejarah dari sebuah
pemikiran modern. Apa menariknya? Saya
harus jujur paling tidak kepada diri saya sendiri kalau saya tidak terlalu
tertarik dengan hal-hal demikian. Sayangnya, semakin dibaca, semakin jelaslah
kalau buku Dunia Sophie ini tidak akan membawa saya ke dalam dunia petualangan
sihir nan menakjubkan layaknya Harry Potter tetapi justru akan membawa saya
kembali ke masa lalu di mana pemikiran pemikiran unik mulai digagas. Meskipun
tidak begitu memahami, yang jelas melalui buku ini saya mulai mengerti siapa
Thales, Anaximandros, Anaximenes dengan pemikirannya tentang alam raya-nya,
Democritus dengan teori atomnya, Parmenides dan Heraclitus dengan pertentangan
hebatnya, Empedocles, Sang Filosof Bijak Socrates, Plato, Aristoteles,
Descartes, Spinoza, John Locke, David Hume, George Berkeley, Bjerkely, Immanuel
Kant, Hegel, Kierkegaard, Marx, Charles Darwin, Sartre dan entahlah siapa lagi,
terlalu banyak nama nama asing yang sulit diucapkan dengan benar oleh lidah
saya dan terlalu banyak nama yang tidak bisa saya ingat dengan jelas. Mereka
mereka ini adalah tersangka di balik kasus ‘Mengapa Dunia Sophie sulit untuk
dipahami?’. Dan saya adalah salah satu korban pemikiran maha-dahsyat mereka.
Korban dari kejeniusan seorang filosof masa lalu. Pemikiran para pemilik IQ
Berlian memang selalu membuat terseok seok para pemilik IQ Melati yang dengan
nekatnya mencoba untuk memahami, saya contohnya. Alhasil, bukan pemahaman yang
saya dapatkan ketika saya berusaha untuk semakin memahami, tapi sakit kepala.
Siapa yang menyangka beratus-ratus
tahun yang lalu sudah ada orang yang memikirkan hal-hal yang belum pernah
terpikirkan sebelumnya. Pemikiran pemikiran tentang alam raya adalah pemikiran
yang muncul pertama kali, hingga pada akhirnya mulai berkembang dan semakin
berkembang. Lalu mulailah muncul rasionalisme, logisme, materialisme, empirisisme,
agnotisme, psikoanalisis, ekstensialisme dan sebagainya. Sejauh ini, saya mulai
mengerti bagaimana perkembangan sebuah pemikiran modern. Ternyata ini melalui
sebuah proses yang teramat panjang. Sebuah teori hadir untuk kemudian disangkal
dengan teori baru lalu kedua teori tersebut diambil bagian-bagian yang paling
masuk akal yang pada akhirnya disempurnakan untuk sebuah kehadiran dari teori
baru, disangkal lagi disangkal lagi, begitu terus entah sampai kapan. Ini
semata-mata dilakukan supaya ilmu pengetahuan tidak bersifat statis dan tentu
saja supaya bisa mencapai sebuah kesempurnaan pengetahuan meskipun pada
dasarnya kesempurnaan dari pengetahuan itu sendiri tidak akan pernah bisa
digenggam.
Dari sekian banyak filosof dan
pemikiran pemikirannya yang dihidangkan dengan manis oleh Jostein Gaarder, saya
mengagumi Jean Paul Sartre meskipun tidak bisa dipungkiri kalau saya mengagumi
semuanya dengan segala pemikirannya yang tidak pernah saya mengerti.
John Paul Sartre
adalah seorang ateis. Lalu kenapa? Itu tidak menjadi masalah bagi saya. Toh
saya hanya pengagum yang mengagumi pemikiran uniknya, meski tidak bisa
dipungkiri kalau saya tidak seluruhnya sepaham dengan pemikiran-pemikirannya. Sartre
adalah seorang penganut paham ekstensialisme. Ekstensialisme sendiri adalah
sebuah paham fisafat yang membicarakan tentang hakikat manusia. Masalah yang
dibahas adalah bagaimana cara menjadi seorang manusia yang utuh? Menarik bukan?
Sartre adalah satu satunya filosof yang secara lantang berseru bahwa manusia
pada dasarnya adalah bebas. Bahkan lebih radikal lagi dia berkata ‘man is free and rather man is freedom’
(manusia itu bebas dan lebih tepatnya manusia adalah kebebasan. Sebuah
pemikiran yang sangat berani, dengan pemikirannya yang seperti itu, itu berarti
dia sudah siap mengalami berbagai kecaman dari berbagai pihak karena pada
dasarnya pemikirannya sangat ekstrem dan berbeda dari kebanyakan. Tapi di situ
lah uniknya.
Menurut saya,
kebebasan yang dimaksudkan oleh Sartre bukanlah kebebasan yang biasa kita
artikan. Kebebasan di sini mempunyai filosofi tersendiri dan tidak semua orang
bisa mengartikan kebebasan-nya dengan tepat.
Manusia adalah makhluk yang berbeda dengan yang lain. Manusia adalah
unik dan tidak dapat diterangkan dari sudut metafisika ataupun sistem sistem
hukum. Manusia senantiasa ‘mengada’ dengan adanya dan tidak seperti yang lain
yang sudah pasti ‘ada’ dengan adanya. Sehingga, yang lain itu dapat diterangkan
secara metafisika dan sistem-sistem hukum. Berbeda dengan manusia, ia berada
dalam ketidakpastian dan dilingkupi dengan kemungkinan kemungkinan. Dan dari
kemungkinan kemungkinan yang terbentang di hadapannya, manusia hidup untuk
mengutuhkan dirinya, menentukan dirinya untuk menjadi apa. Dan dari sinilah terjadi,
bahwa antara manusia satu dengan manusia yang lain itu berbeda menentukan
dirinya. Bahwa manusia itu unik. Dan dari keunikan itulah, ia tidak dapat
diterangkan atau didefinisikan secara pasti. Proses inilah, Sartre kemudian
berkata bahwa eksistensi mendahului esensi. Maksudnya, manusia itu pertama kali
mengada mendapatkan dirinya terlempar di dunia, kemudian ia mempertahankan
diri. Oleh karena itu ia tidak dapat didefinisikan, karena ia bermula dari
ketiadaan sampai bagaimana ia membuat dirinya.
Kemudian, yang
dimaksud manusia yang utuh dalam pandangan Sartre, adalah manusia yang sadar
akan dirinya sendiri. Sadar bahwa sebenarnya ia berbeda dengan yang lain.
Perbedaan itu, kata Sartre, terletak pada, bahwa manusia itu
“Being-for-itself” (Le’etre-pour-soi),
yakni pengada yang sadar akan dirinya sendiri, dan yang selainnya adalah ”
Being-in-self” (Le’etre-en-soi), pengada
yang tidak sadar akan dirinya sendiri. Dari menyadari dirinya sendiri itu,
manusia akan menjarak dengan dirinya sendiri dan melihat dirinya bahwa “aku”
bukanlah “aku” yang sekarang. Sebab “aku” dapat berubah dari “aku” menjadi
“aku” yang lain, dan terus akan begitu. Sebab “aku” pada mulanya berasal dari
ketiadaan. Ketiadaan? Ya, kata Sartre. Manusia itu tiada. Ketika ia lahir di bumi,
ia tiba-tiba ada begitu saja. Keberadaan manusia yang ada begitu saja itu,
dalam ilmu fenomenologi disebut faktisitas. Karena tidak ada kepastian bagi
manusia untuk bertindak menjadi apa dan hidup bagaimana, maka dari sinilah,
kata Sartre, manusia itu bebas. Ia bebas untuk menentukan dirinya sendiri.
Sebaliknya, apabila manusia merasa tidak bebas berbuat apa-apa, maka ia bukan
manusia yang bereksistensi, tak akan menjadi utuh sebagai manusia. Sebab,
ketika manusia tidak bebas, berarti ia menggantungkan sesuatu pada yang lain,
dengan menggantungkan dirinya pada sesuatu itulah, menurut Sartre, manusia
keluar dari jati dirinya yang bebas dari apapun. Termasuk di sini, Sartre
menunjuk pada orang-orang yang bertuhan. Sebab ketika seseorang telah bertuhan,
maka manusia telah mengonsepkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan ajaran
agama itu. Ia tidak bebas lagi sebagai manusia. Maka, Sartre, termasuk dari
golongan filosof yang atheis. Dan dengan bebasnya manusia dari Tuhan, manusia
akan menjadi bebas. Mutlak.
Namun, meskipun
Sartre menobatkan bahwa manusia itu bebas mutlak. Ia menyadari ada
kenyataan-kenyataan yang dihadapi manusia yang kurangnya penghayatan kebebasan.
Sartre tidak mengatakan bahwa kenyataan-kenyataan itu adalah batasan dari
kebebasan manusia. Sebab, katanya, kenyataan-kenyataan itu, meskipun tidak
dapat dihindari, namun manusia dapat melupakan, memanipulasi, dan mengolahnya.
Kenyataan-kenyataan itu kemudian oleh Sartre disebut dengan faktisitas. Adapun
itu ada 5 macam:
1. place (tempat)
2. past(masa lampau)
3. environtment (lingkungan)
4. fellowmen (hubungan
manusia)
5.death (maut).
Dari
kelima macam faktisitas di atas, yang paling menarik adalah ketika Sartre
menerangkan eksistensi manusia dalam hubungannya dengan orang lain atau fellowmen. Menurut Sartre,
orang lain adalah neraka. Ini ungkapan metaforis. Maksudnya, keberadaan orang
lain dapat menggoyahkan eksistensi “aku”. Sehingga itu amat berbahaya.
Bagaimana tidak, ketika orang lain berhubungan dengan kita, maka, untuk
memahami antara satu sama lain, maka orang lain itu akan mengonsepkan diri
kita, akan mendefinisikan diri kita. Dari sinilah kemudian, kita akan menjadi
obyek, sementara orang lain menjadi subyek. Ketika kita menjadi obyek, maka
kita tidak bebas lagi. Kita terperangkap dalam konsep yang mereka tetapkan itu.
Dan dari konsep itu, kita berarti dikuasai oleh mereka. Tapi Sartre memberikan
solusi, bahwa untuk keluar dari situasi itu, untuk keluar dari faktisitas macam
itu, manusia harus menyadari dirinya untuk tidak menjadi obyek, tapi
memproyeksikan dirinya menjadi subyek. Dan dari situlah, kita bertarung untuk
mengatakan “TIDAK!” pada pandangan orang lain kepada diri kita. Jadilah subyek,
itulah pesannya.
Kata
kata Sartre yang bagi saya sangat berkesan adalah saat dia mengatakan ‘Tidak bisa tidak, kehidupan manusia pasti
punya arti. Kita sendirilah yang harus menciptakan artinya. Omong kosong dengan
Nihilisme!!’.
Saya benar benar
harus mengatakan WOW untuk kalimat yang satu ini. Dan kalimat ini menguatkan
saya. Saya termasuk orang orang yang kurang bisa melakukan kegiatan kegiatan
yang bagi sebagian besar orang selalu dianggap ‘berarti’ untuk orang lain. Saya
malas, saya tidak aktif dalam organisasi, bla bla bla bla. Hal hal yang
demikian ini yang kadang kala membuat orang menilai kehidupan saya sangat tidak
mempunyai arti. Hidup saya adalah NIHIL. Hidup saya adalah tidak berguna.
Ketika saya membaca bab tentang Sartre, ada pemahaman baru yang muncul di benak
saya. Seketika saya berpikir, tahu apa mereka tentang hidup saya? Tahu apa
mereka tentang arti kehidupan? Apakah mereka pikir hidup mereka sudah berarti
dan benar benar berarti hanya dengan parameter yang demikian, sering melakukan
kegiatan sosial atau organisasi misalnya? Bagaimana jika hanya dengan cara
hidup saya yang demikian, hidup saya mempunyai arti? Bagaimana jika saya sudah
menemukan sendiri apa arti dari kehidupan yang saya punya? Bagaimana jika hidup
saya lebih berarti daripada hidup kalian? Bagaimana? Dari sini saya mulai
menyadari bahwa tidak ada hidup manusia yang omong kosong, tidak ada hidup yang
nihil. Hidup dari orang mana pun dan orang seperti apapun, tetap saja mempunyai
arti. Entah disadari ataupun tidak.
Lalu tentang kebebasan. Manusia dikutuk untuk bebas, “kutukan
kebebasan” mengharuskan manusia menciptakan dunianya sendiri & bertanggung
jawab terhadapnya. Yang saya tangkap di sini
adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab. Kita semua, termasuk saya,
bebas melakukan apapun. Kita bebas melakukan apapun asalkan kita mau menerima
semua konsekuensi atas kebebasan tersebut. Ini memperkaya cara pandang saya
terhadap kehidupan saya tentu saja. Kadang, banyak di antara kita yang hanya
ingin hidup bebas tetapi tidak mau menanggung resiko dari kebebasan tersebut.
Bukankah semua ada pertanggungjawabannya meskipun itu adalah sebuah kebebasan?
Bukankah begitu?
Saya banyak
mengalami kendala dalam memahami buku Dunia Sophie ini. Padahal Jostein Gaarder
sudah membuat buku filsafat ini semenarik mungkin dengan membuat ada cerita di
dalamnya. Gaarder juga menghadirkan tokoh tokoh utama seperti
Sophie,Hilde,Alberto dan beberapa tokoh rekaan lainnya. Gaarder mengadopsi cara
cara Socrates dalam mengajarkan sebuah filsafat yaitu dengan cara bercerita.
Sayangnya, meskipun sudah menggunakan metode demikian, saya masih saja sulit
memahami. Saya akan menyalahkan siapa ketika saya mengalami hal yang demikian?
Jostein Gaarder? Mana bisa? Tidak bisa dipungkiri lagi kalau dia adalah
pencerita yang baik (untuk orang orang dengan kemampuan pemahaman yang baik
pula). Berarti kesimpulannya adalah saya yang … ah sudahlah jangan dibahas
lagi. Pedih.
Kendala yang
paling besar adalah rasa malas dan ngantuk yang luar biasa ketika halaman demi
halaman Dunia Sophie mulai membahas tokoh tokoh filsafat. Ampun deh. Mungkin,
tokoh tokoh filsafat ini pertama tama harus digambarkan sebagai tokoh yang
rupawan dan super romantis yang siap membawakan sekotak martabak manis setiap
saat kepada orang orang (khususnya anak kos) yang dengan susah payah membaca
kisah hidupnya dan mencoba memahami pemikiran antiknya. Harusnya begitu.
Mungkin dengan demikian, daya serap otak saya bisa meningkat berpuluhh puluh
kali lipat, PASTI.
Selain itu, daya
ingat yang kurang juga membuat saya kesusahan dalam memahami Dunia Sophie ini. Saya
sangat pelupa, pelupa untuk urusan yang berkaitan dengan materi kuliah dan hal
hal lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Kalau di dalam dunia
kedokteran, ini disebut dengan ________________ entahlah. Bagaimana tidak,
setiap kali saya berhasil memahami sebuah tokoh dengan pemikirannya dan
beranjak ke tokoh lain, saya begitu saja lupa dengan pemikiran tokoh yang sudah
berhasil saya pahami. Sialan. Siapa yang tidak emosi ketika dirinya mengalami
hal hal yang seperti ini? padahal teman teman saya tidak mengalami apa yang
saya alami. Mereka toh tetap masih bisa menjelaskan tentang tokoh tokoh
filsafat dari yang paling uzur hingga yang sekarang dengan fasih dan tanpa ehm, eh lupa aku, mmm itu filosof yang mana
ya?, eh yang ini bukan sih?, ah nggak tau deh. Menyebalkan sekali bukan?
Itulah alasan mengapa saya tidak bisa memahami Dunia Sophie seutuhnya. Kalau
ada orang yang bertanya ‘Sudah pernahkah membaca Dunia Sophie?’ saya akan
menjawab ‘SUDAH’ dengan lantang. Tetapi berbeda cerita ketika saya diminta
untuk menceritakan pemikiran pemikiran filosof yang ada di dalam buku Dunia
Sophie. Saya pasti akan menjawab ‘Maaf
saya lupa, mending anda baca bukunya sendiri ya. Kalau tidak punya bisa pinjam
ke saya. SEKIAN’.
Terimakasih
Dunia Sophie. Terimakasih untuk sakit kepala yang selalu saya alami ketika saya
memaksakan diri untuk memahami apa yang ada di balik cover bertuliskan ‘DUNIA
SOPHIE : Sebuah Novel Filsafat’. Terimakasih untuk perkenalannya dengan tokoh
tokoh filsafat dunia. Terimakasih untuk pengetahuan barunya meskipun ini tidak
akan bertahan lebih lama lagi di otak saya, tapi paling tidak saya pernah
mengetahui tentang hal hal yang demikian.
Terimaksih Bu
Ellen. Tanpa Bu Ellen, Dunia Sophie bagi saya adalah hanya sebuah novel
membosankan yang tidak pernah bisa dipahami meskipun saya membaca seratus kali.
Terimakasih untuk kata kata ringan dan sederhananya dalam menjelaskan pemikiran
filosof filosof yang ada di dalam buku Dunia Sophie ini. Saya tahu ibu adalah
seorang dosen yang hebat tetapi ibu tidak pernah menggunakan bahasa bahasa yang
rumit untuk menonjolkan kehebatan ibu, terimakasih. Ibu adalah dosen filsafat
paling hebat sepanjang masa.
We love you Bu
Ellen.. J
With Love
Atika Nugraheni
2 komentar: