Cerita Aneh
Ternyata Dia...?
Aku
melihat sosok itu dari bangku paling belakang di sebuah ruang kelas. Sosok yang
teramat kukagumi sejak awal aku melihatnya. Namanya Mas Dito, hanya Dito tanpa
embel embel apapun. Singkat, padat, tidak bertele-tele. Aku memanggilnya mas meskipun usiaku dan usianya hanya
terpaut satu tahun. Ibuku mengharuskanku memanggil siapapun dengan umur yang
lebih tua dengan panggilan mas. Dan
nampaknya aku sudah terbiasa dengan aturan ibuku itu. Tapi kalau aku boleh
jujur, muka Mas Dito memang terlihat lebih tua dari umur aslinya. Raut wajahnya
terkesan seperti menyimpan beban, beban yang mungkin teramat berat dan dalam.
Entahlah, mungkin aku yang terlalu berlebihan. Lupakan saja toh Mas Dito
sendiri tak pernah mempermasalahkan wajahnya yang ‘tua’ itu.
Aku
dan Mas Dito satu kelas. Harusnya Mas Dito adalah kakak kelasku, tapi karena suatu
hal dia harus menunggu satu tahun untuk melanjutkan ke SMA. Mungkin, dia sudah
ditakdirkan untuk bersama denganku. Aku tidak terlalu dekat dengan Mas Dito.
Hubungan kami hanya sebatas teman satu kelas. Aku tahu namanya dan dia juga
sebaliknya. Kami saling menyapa saat berpapasan, tersenyum satu sama lain.
Hanya itu saja dan tak pernah lebih, sederhana sekali. Bukankah ini hampir sama
dengan aku tidak mengenalnya sama sekali? Bukankah lebih baik aku tidak tau
apapun tentangnya daripada setengah setangah seperti ini? Biar saja, aku menikmati. Aku suka meskipun
sebenarnya aku ingin menjadi lebih dekat dengan Mas Dito, bukan seperti ini. Tetapi,ada
suatu hal di dalam dirinya yang membuatku merasa sungkan kepadanya. Bukan
sungkan mungkin, ah entahlah, aku sudah tidak punya kosa kata lagi untuk
mengungkapkan apa yang kurasakan.
Ini
bukan cinta. Tak terbesit dalam pikiranku untuk mencintai Mas Dito, tak pernah.
Aku hanya sebatas mengagumi. Mengagumi dengan sebenar benarnya mengagumi. Sama
seperti yang sedang aku lakukan saat ini. Aku mengagumi dalam diam. Mas Dito
tampaknya serius sekali mendengarkan materi Pendidikan Kewarganegaraan yang
sedang disampaikan Pak Cipto. Padahal menurutku, ini adalah pelajaran paling
membosankan yang pernah ada. Sesekali, Mas Dito mengacungkan tangannya. Dia
bertanya sekaligus memberikan pandangannya. Gayanya khas, kata kata yang keluar
dari mulutnya begitu tertata, emosinya terkontrol dengan baik, tenang dan
bagiku itu sempurna. Perfecto. Tidak
hanya di pelajaran ini, di semua pelajaran dia juga seperti itu. Selalu kritis,
berani, dan pengetahuannya selalu bertingkat tingkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kami. Dan satu lagi, dia selalu berhasil membuatku terpesona. Sama seperti sekarang ini, aku masih terdiam, sibuk mengagumi dan
mengucap tasbih. Kenapa ada manusia secerdas ini di hadapanku dan kenapa ada
manusia yang hanya mampu mengagumi tanpa berusaha untuk menjadi seperti sosok
yang dikagumi? Kekagumanku tak terbendung, malu yang kurasakan juga ikut-ikutan
tak terbendung. Tumpah.
Bel
sekolahku sudah berdentang empat kali. Itu artinya jam pulang sekolah telah
tiba. Kalau saja boleh jujur, motivasi utama untukku tetap berangkat sekolah adalah
bel yang berdentang empat kali ini. Dengan kata lain, aku berangkat untuk
kembali pulang. Siswa macam apa aku ini? Aku melihat Mas Dito pulang sendirian.
Dia memang selalu sendirian. Bukan karena dia tidak punya teman, teman Mas Dito
banyak bahkan lebih banyak dari temanku. Tapi karena dia memegang teguh
prinsipnya ‘ Kita harus terbiasa sendiri. Bukankah suatu saat nanti kita juga
akan sendiri? ‘. Kami berpapasan di gerbang sekolah. Mau tak mau aku harus
menyapanya. Aku mengatur nada bicaraku supaya terdengar biasa biasa saja dan
menyembunyikan rasa kagumku yang terlalu besar itu ke dalam ruangan rahasia di
dalam hatiku.
“
Hai Mas Dito ? “ aku menepuk punggungnya
keras keras dari belakang dan ternyata
itu cukup sukses untuk membuat Mas dito kaget.
“
Eh hai juga Mba, bikin kaget aja kamu ih “, Mas Dito masih terlihat kaget.
“
Kenapa manggilnya Mba si? Adek dong harusnya. Tumben banget mas udah pulang,
biasanya kan sibuk tuh? “
“
Iya iya, nggak usah ngambek gitu deh. Iya nih Gina, sekali kali kan pengen
istirahat juga. “
“
hehe.. oh gitu. Kalo gitu aku duluan ya Mas, udah dijemput ibu soalnya. Dadaah
Mas Ditoo.. “
“
Iya hati hati Gina.. “
Kami
tersenyum, kami menyapa, kami bicara dan setelah itu kami sendiri lagi, sama
sama sendiri. Aku sendiri, Mas Dito juga. Berjalan saling menjauhi, berjalan di
atas buminya masing masing.
***
Aku
benar-benar tergesa-gesa. Hari ini aku ada ulangan harian dan pastinya aku
belum belajar sedikitpun. Memang biasanya seperti itu dan akan tetap seperti
itu. Bagiku, ulangan tanpa belajar sama sekali adalah sebuah sensasi yang
hebat, sensasi menyenangkan. Pada saat otak kita dipaksa untuk berpikir, di
saat itulah sensasi hebat itu kita dapatkan. Sudahlah, aku yakin kalian tidak
akan mengerti apa yang disebut “sensasi hebat” menurutku itu. Aku sudah gila
sepertinya. Langkah kaki ini sebisa mungkin aku percepat. Aku bukannya takut
terlambat. Aku hanya takut kena sial yaitu duduk di bangku paling depan, di
depan guru persis. Pada saat musim ulangan, teman temanku pasti berangkat lebih
pagi dari biasanya supaya bisa memilih posisi duduk paling strategis. Sialan
memang, tapi mau bagaimana lagi? Dan sebagai orang yang hampir setiap hari
berangkat terlambat, aku harus siap menduduki kursi panas. Untuk pelajaran lain
aku tak menjadi masalah,tapi jangan untuk matematika.
Sampai
di kelas, aku bisa sedikit bernapas lega. Masih banyak bangku kosong dan aku
bisa memilih sesukaku. Aku duduk di samping Yola, teman sekelasku yang paling
dekat denganku. Sambil membuka buka materi ulangan, sesekali aku berbicara
kepada Yola untuk membantuku ( baca : nyontek )ketika aku kurang bisa
mengerjakan.
“
Yola, tolongin aku ntar ya. Kamu duduknya deketan deh. Jangan ditutupin loh ya
pokoknya “
“
Iya iya, nggak usah lebay gitu deh. Selow aja kali Gin. “
“
Makasih banget ya cantik.”
Bel
tanda masuk kelas sudah berbunyi. Aku masih saja membaca-baca catatanku, selagi
sempat. Meskipun percuma tetapi tak apa, paling tidak ada sedikit usaha. Bu
Esti sudah datang dengan segepok soal di tangannya. Matematika, aaaah tamatlah
aku. Tapi, sepertinya ada yang kurang dari kelas ini. Oh iya, mana Mas Dito?
Tumben sekali dia belum menampakkan diri. Biasanya dia kan selalu datang paling
pagi, apalagi kalau musim ulangan seperti ini. Ah, siapa peduli. Bukankah
ulangan matematika lebih penting dari hadirnya Mas Dito? Lagian Mas Dito kan
orangnya pinter, jadi apa susahnya matematika buat dia? Lima menit saja pasti
sudah selesai tanpa harus tengok kanan kiri seperti aku.
Soal
dibagikan. Sudah kuduga, aku tidak mengerti semuanya. Sialan. Rumus mana yang
akan kupakai aku juga tidak tahu. Lalu bagaimana aku bisa menyelesaikan sepuluh
soal esai ini? Yola? Tidak, lebih baik aku mengerjakan sendiri meskipun
hasilnya sudah pasti Sebenarnya aku resah, hampir menyerah. Tapi disitulah
letak sensasi hebatnya, benar benar hebat kupikir. Sudah 15 menit berlalu,
lembar jawabnya masih suci. Pikiranku tertuju kepada Mas Dito. Kenapa dia belum
datang? Baru saja aku berpikir begitu, aku melihat Mas Dito berlari masuk ruang
kelas. Keringatnya bercucuran, nafasnya tersengal saking lelahnya, tapi mukanya
tetap terlihat ‘tua’. Setelah dia meminta maaf kepada Bu Esti akan
keterlambatannya, dia langsung mengambil tempat duduk dan bersiap mengerjakan
soalnya. Dia duduk di depanku persis. Tuhan, jangan biarkan Mas Dito melihat
pekerjaanku yang masih kosong ini. Mau ditaruh mana mukaku ini ketika Mas Dito
tahu kenyataan yang sebenarnya bahwa aku benar benar parah di pelajaran
matematika. Tuhan mengabulkan doa pendekku tadi. Ya Tuhan mengabulkan, itu tandanya
Tuhan masih ada di dekatku untuk mendengarkan doa doaku. Karena itu aku cepat
cepat berdoa lagi ‘ Tuhan, berikanlah aku jawaban matematika ‘. Tuhan juga
menjawab doaku yang satu ini, hanya saja jawabannya adalah ‘TIDAK’ tanpa
terkecuali.
Dari
belakang aku melihat pulpen Mas Dito terus bergerak tanpa hambatan, lancar.
Hebat benar makhluk Tuhan yang satu ini. Tidak ada waktu untuk mengagumi Mas
Dito. Lain kali saja, masih banyak waktu. Fokuslah dulu dengan soal ulangannya.
Aku juga menggerakkan pulpenku, sebisanya. Tersendat sendat pada awalnya tapi
perlahan lahan lancar. Lancar ngarangnya lebih tepatnya. Peduli apa, yang
penting kan selesai terlepas dari benar atau salahnya. Mas Dito selesai lebih
dulu, paling awal di antara kami meskipun dia mulai paling akhir. Brengsek sekali.
Makan apa sih dia ?
Aku
kesal setengah mati. Ujung ujungnya mengeluh lagi, mengeluh lagi. Kucari Mas
Dito, tidak ketemu. Kemana lagi dia? Ternyata dia sedang duduk di depan kelas.
Membaca buku tebal, entah apa judulnya. Ya Tuhaan, tidak pusingkah dia membaca
buku setebal itu setelah ulangan matematika? Aku mendekatinya, lebih tepatnya
mendekati untuk sekadar menyapa.
“
Wuiih, baca buku apaan tuh Mas? Tebel amat. Kalo aku pasti udah pusing banget
tuh “
Cara
bicaraku ke Mas Dito memang seperti itu. Sok akrab, seolah olah hubungan kami
sangat dekat meskipun sebenarnya biasa-biasa saja.
“
Apaan si Mba, cuma buku biasa kok. Mau ikutan baca juga? “ Mas Dito menawariku
untuk ikut membaca bukunya.
“
Tuh kan manggilnya Mba lagi. Gak mau ah. Bisa gila mendadak aku baca buku kayak
gituan “
“
Ya udah, panggilnya Mba cantik aja gimana?”
“
Aku juga mau manggil Mas Subhanalloh ah “, aku menjawab asal
Mas
Dito hanya tertawa mendengar ucapan ngawurku. Aku berlalu meninggalkan Mas Dito
dengan buku tebalnya. Rasa kagum itu perlahan lahan akan menjadi
aneh,sungkan,risih dan lama kelamaan hambar ketika aku terlalu lama dekat
dengan Mas Dito. Mungkin gara-gara Mas Dito adalah tipikal orang yang kaku,
orang yang terlalu serius menghadapi dunia, topic bicaranya berat, politik lah,
teknologi lah, sains lah. Karena itu aku menjadi kurang betah kalau di
dekatnya. Aah, aku saja yang bodoh, wawasanku limit. Mana nyambung omonganku
dengan omongan Mas Dito? Yang aku tahu kan hanya Manga, bukan politik bukan
teknologi apalagi sains. Tapi lepas dari itu semua, aku masih mengagumimu Mas,
dalam diam pastinya.
***
Waktu
istirahat biasanya aku gunakan untuk pergi ke perpustakaan sekolah. Hanya
sekadar membaca Koran atau hotspotan. Dengan ditemani temaku, kali ini aku
tenggelam di balik layar notebook. Sibuk searching,
searching apa saja. Hal yang satu ini adalah favoritku, cukuplah untuk
membuatku merasa mempunyai dunia sendiri. Beberapa saat kemudian, lagi lagi aku
melihat Mas Dito. Sendirian, seperti biasanya. Mengambil Koran lalu duduk di
depanku. Kali ini kami hanya mengurai senyum. Setelah itu sibuk lagi dengan
dunianya masing masing. Mas Dito membaca Koran dan aku asyik membalas mentions
sambil retweet kanan kiri. Biasalah, namanya juga ababil. Twitter harus eksis
terus meskipun sibuk sekolah.
Sesekali
aku melirik ke arah Mas Dito. Ya Tuhan, dia tertidur. Mukanya terlihat benar
benar lelah. Aku beru pertama kali melihatnya sampai seperti ini. Memang aku sering
melihat mukanya kelelahan, seperti habis begadang semalaman tapi tidak sampai
tertidur.
“
Yola, liat tuh Mas Dito. Tidur. Kok bisa ya orang kayak dia ngantuk? “
“
Buseet, ini beneran Dito? Masa sih sampe ketiduran gitu. Gak mungkin ih.”
Aku
perhatikan mukanya sekali lagi, siapa tahu bukan Mas Dito. Tapi itu memang Mas
Dito. Tidak salah lagi. Aku mendengar deru nafasnya yang berat, seperti
memendam beban. Mukanya lusuh sekali. Sepertinya memang butuh tidur lama. Aku
melanjutkan aktivitasku yang tadi tertunda. Lagian apa salahnya si orang tidur?
Semua orang kan sah-sah saja memejamkan matanya, Tuhan juga tidak melarang. Dan
untuk yang terakhir kalinya aku melihatnya lagi. Sebentar, kenapa di pelupuk
matanya ada warna coklat keemasan? Apa itu? Seperti bekas eye shadow yang belum
terhapus sempurna. Tipis, dari jauh memang tersamarkan. Tapi kali ini aku
melihatnya dari jarak dekat dan aku yakin mataku ini belum rabun, lebih
tepatnya belum terlalu rabun. Aku memang bukan orang yang tahu make-up.
Jangankan eye shadow, lipstick yang merupakan hal yang teramat biasa bagi
seorang perempuan di masa-masa remaja pun aku tak pernah punya apalagi
memakainya. Dengan alasan ini, aku bisa menipu diriku sendiri bahwa apa yang
kulihat di mata Mas Dito itu hanya salah lihat. Ya, hanya salah lihat. Aku
berusaha meyakinkan diriku meskipun keyakinan ini membuat rasa penasaranku
menjadi beribu-ribu kali lipat.
***
Sampai detik
ini, isi kepalaku hanya dipenuhi Mas Dito,Mas Dito dan Mas Dito, dengan bekas eye
shadow tipis di pelupuk matanya tentu saja. Aku benar-benar tidak tahu harus
bercerita kepada siapa. Yola? Mana mungkin aku bercerita kepadanya, mulutnya
kan seperti ibu-ibu arisan. Takutnya akan terjadi gossip-gosip yang akan
merusak namanya. Pikiranku terbang kemana-mana, mengira-ngira hal yang tidak
tidak. Jangan jangan Mas Dito adalah ………….
“
Gina, jalannya yang bener dong. Jangan nglamun gitu. “ , seseorang
mengagetkanku
“
Hah, iya. Eh, Mas Dito, ngagetin aja. Udah dari tadi mas? “, pertanyaanku
ngawur
“
Iya, aku dibelakangmu dari tadi Gina. Habisnya aku perhatiin kamu jalannya
sambil ngelamun gitu, takutnya ada apa-apa. “
“ Oh, masa aku
ngelamun sih mas? Tapi makasih ya mas. “
“
Kamu gak apa apa kan Gin? “
“
hehe, nggak apa apa kok mas. Cuma lagi galau aja gara-gara ulangan matematika
nggak bisa ngerjain “
“
Udah ah nggak usah dipikirin. Ya udah aku tinggal dulu ya. Buru-buru nih
soalnya.”
Aku hanya
terdiam, tidak seperti biasanya yang selalu menyambut riang apa saja yang
diucapkan Mas Dito. Terbesit keinginan untuk mengikuti Mas Dito kemana pun dia
pergi tapi kesannya aku lancang sekali. Sudahlah, aku lelah, aku ingin pulang.
***
Ini malam
Minggu, maksudku Sabtu malam. Tahu kan kenapa aku menyebutnya Sabtu malam?
Semoga saja tahu karena aku sudah malas menjelaskannya, muak. Dan satu-satunya
hal yang membuatku merasa bahagia di Sabtu malam ini adalah melihat lampu-lampu
kota dari atas bukit, bukit belakang sekolahku.Aku sering kesana, sudah tak
terhitung lagi berapa kali. Aku sama sekali tak bosan, aku suka. Karena setiap
kali aku menginjakkan kaki disana dan melihat cahaya kecil kecil itu, rasanya
damai sekali, tenang.
Malam ini aku
juga pergi kesana, sendirian saja. Tapi kali ini aku tidak lama. Hanya melihat
kerlipan lampu-lampu itu kemudian aku pergi lagi. Dengan menggunakan motor
kesayanganku, aku berkeliling kota kecilku ini. Aku sudah minta izin ke ibu
kalau Sabtu ini aku memang akan pulang malam, belajar kelompok di rumah Yola
alasannya. Lagi lagi berbohong. Ya mau bagaimana lagi, hanya itu satu satunya
alasan yang bisa membuatku keluar malam. Aku tidak menyadari kalau jarak yang
kutempuh sudah cukup jauh. Setelah menengok kanan-kiri ternyata ini adalah
daerah rumahnya Mas Dito. Sialan, kenapa aku bisa sejauh ini? Setauku, rumah
Mas Dito itu paling jauh di antara teman teman sekelasku. Ah, sudah terlanjur
basah, menyelam saja sekalian. Karena itu, aku berniat untuk mampir ke rumah
Mas Dito. Lagian ini kan masih jam 7 malam, kupikir itu masih sopan untuk
sekadar bertamu.
Ada sedikit rasa
kurang yakin apakah ini rumah Mas Dito atau bukan. Setahuku sejak kami satu
kelas setengah tahun yang lalu, belum ada satu orang pun yang tahu di mana rumahnya.
Mas Dito hanya memberi tahu nama daerahnya saja, itupun atas hasil paksaan
teman teman. Kalau boleh jujur, sepulang sekolah sekitar dua bulan yang lalu
aku diam-diam mengikuti Mas Dito pulang. Dan inilah hasilnya, aku tahu rumahnya
meskipun lupa lupa ingat.
Kakiku kupaksa
untuk melangkah menuju depan pintu dan kupaksakan tanganku untuk mengetuk
pintunya
“
Assala…..mu…..a “, salam yang kuucapan perlahan lahan melemah hingga akhirnya
tak terdengar.
Di dalamnya
kudengar orang yang sedang marah marah. Jelas sekali suaranya. Jelas.
“ Lo itu emang
adek yang gak tau diuntung ya. Tiap hari itu gue kerja banting tulang buat
ngebiayain sekolah lo, sekolah gue. Tapi lo malah gitu. Nilai apaan ini? “
“ Maaf kak,
maafin Dion kak “, kata Dion sambil terisak.
“ Pokoknya gue
nggak mau tau, besok-besok nggak boleh kayak gini lagi. Ngerti lo?”
“ Iya kak, Dion
janji nggak bakalan ngecewain kakak lagi. Dion janji. “, tangisnya benar benar
pecah kali ini.
Air mataku juga
ikut-ikutan tumpah, tak terbendung . Aku yakin dan benar benar yakin kalau itu
memang suara Mas Dito. Ya ampun, kenapa dia menjadi sekasar itu? Kenapa Mas
Dito yang ini berbeda 180 derajat dari Mas Dito yang aku kenal? Air mata ini
semakin deras. Rasanya aku masih belum percaya, masih ragu. Lagi lagi aku berusaha
untuk membohongi diriku sendiri bahwa yang kudengar tadi itu bukan suara Mas
Dito. Mas Dito itu baik, Mas Dito sempurna, dan Mas Dito….
“ Gue mau pergi
dulu. Baik baik lo di rumah, belajar yang bener. Jangan sampe lo ngecewain gue
lagi kayak tadi. Dan kalo lo gak mau gue anggep sebagai adek yang brengsek dan
nggak tau diuntung, pas gue pulang pokoknya rumah ini harus udah bersih. Paham
lo?”
Aku ingin tetap
pada keyakinanku kalau Mas Dito itu adalah sosok yang sempurna tetapi
keyakinanku perlahan lahan runtuh. Kenyataan ini meruntuhkan semuanya. Aku
tersadar dari lamunanku. Kuusap air mataku sebisanya dan aku segera beranjak
pergi dari depan pintu rumah Mas Dito. Jangan sampai Mas Dito melihatku ada di
sini. Lalu aku berdiri di balik pohon manga yang ada di dekat dekat situ supaya
sosokku tersamarkan. Yang kupikirkan saat ini hanya satu, aku ingin mengikuti
Mas Dito pergi, diam-diam.
***
Mas Dito keluar
dari rumahnya. Itu benar benar Mas Dito. Dia membawa ransel besar. Entah itu
apa isinya aku juga tak tau. Tatapan matanya dingin, tidak seperti yang
biasanya kulihat. Dia mengambil motor bututnya dan mengendarai dengan tergesa
gesa. Seperti mengejar sesuatu. Aku melirik jam tanganku, baru jam 8 malam. Ah,
tak apalah kalau aku pulang sedikit lebih larut. Buru buru aku menaiki motorku,
ikut ikutan ngebut. Aku benar benar tak tahu kemana Mas Dito akan pergi. Daerah
yang kulewati ini benar benar asing, sangat asing. Laju motor Mas Dito menjadi
pelan. Aku sedikit khawatir apakah dia mengetahui kalau ada orang yang
mengikutinya? Tapi ternyata, dia memelankan laju motornya karena dia ingin
berhenti. Aku juga ikut-ikutan berhenti. Jarakku dengannya lumayan jauh jadi
kupikir dia tidak menyadari keberadaanku. Dia berhenti di sebuah rumah tua. Dan
dia masuk ke rumah itu. Otak ini tak henti hentinya bertanya tentang rumah
siapakan itu? mau apa Mas Dito masuk ke rumah itu?
Aku menunggu
lama sekali. kutengok jam tanganku dan ternyata sudah hampir jam sepuluh malam.
Hampir dua jam aku menunggunya. Handphone-ku berkali kali bordering, ibuku
menelpon. Kudiamkan saja. Lalu beberapa saat kemudian aku mengirim sms ke ibu
kalau tugasku masih banyak dan kemungkinan akan menginap di rumah Yola saja.
Aku berbohong untuk yang kesekian kalinya. Perhatianku kembali tertuju ke rumah
tua itu. Menunggu Mas Dito keluar. Sekarang sudah jam sepuluh malam, jam
sepuluh tepat. Aku melihat ada seseorang yang keluar dari rumah itu. Tapi itu
bukan Mas Dito, itu seorang wanita. Cantik, tapi terlihat sudah agak tua.
Wanita itu mengenakan gaun merah selutut. Rambutnya panjang, kakinya jenjang.
High heels merah yang dipakainya membuatnya terlihat semakin cantik. Tas yang
dibawanya juga merah. Benar benar serasi, matching
kalau kata orang jaman sekarang. Siapa dia?
Hal yang paling
tidak aku sangka adalah dia mengambil motor Mas Dito, mengendarainya. Ya Tuhan,
apa yang baru saja kulihat itu adalah Mas Dito? Aku mengambil motorku dan aku
membuntutinya. Konsentrasiku buyar, hampir saja tadi aku menabrak orang yang
hendak menyebrang. Air mataku tumpah lagi. Aku tak peduli. Motor butut itu
berhenti di sebuah tempat pelacuran. Wanita wanita malam berjejeran di pinggir
jalan. Mengenakan gaun yang mengundang. Menawakan dirinya kepada siapa saja.
Tak hanya wanita, waria juga banyak. Bergerombol di sisi lain, tak kalah cantik
dan seksi dari wanita yang sebenarnya. Wanita yang kuduga adalah Mas Dito ini
tiba tiba muncul dan bergabung dengan waria lainnya. Sayup sayup kudengar
pembicaraan mereka.
“ haii Dito, eh
maksud eke Dinda. Udah selese ngerjain PR-nya hah? Uuh, unyu unyu banget deh
kamyu”
“ iye iye, eke
tau kalo di sini eke masih pemula di sini, tapi nggak usah digodain terus gitu
dong”
“ iih ngambek “,
goda si waria itu.
Waria itu
memanggil wanita yang kulihat tadi itu dengan nama Dito. Jadi itu benar benar
Mas Dito. Tidak mungkin, tidak mungkin. Mas Dito yang teman sekelasku tidak
mungkin melakukan hal serendah ini. Mas Dito yang kukenal bukan waria, bukan
banci. BUKAAN. Aku masih terima kalau Mas Dito adalah pribadi yang kasar, tapi
aku tidak menyangka kalau Mas Dito bisa melakukan hal bejad macam ini.
***
Aku melihat
mereka dari jauh sambil terisak. Bodohnya aku berdiri di tempat yang masih bisa
dijangkau oleh mata mereka dan aku tidak menyadarinya. Kan sudah kubilang, aku
sedang kacau. Pikiranku benar benar kacau. Mungkin kalau ada orang yang
bertanya siapa namaku, aku sudah lupa gara gara saking kacaunya. Tak kusangka,
salah satu dari waria waria itu ada yang menghampiriku. Memakai gaun warna
merah selutut dan setelah kuamati ternyata dia adalah waria yang dipanggil
dengan nama Dito oleh waria yang lain. Waria yang tadi kulihat. Berarti itu
adalah……..
Tak sempat aku
berpikir siapa dia, yang jelas aku langsung berlari sekencang-kencangnya.
Takut. Motorku kutinggal, aku tak peduli dan lebih tepatnya aku lupa.
“ Ginaaaaa,
jangan lari Gin. Ginaaaa… “
Suara itu sangat
familiar, suara Mas Dito. Aku diam saja. Aku tetap berlari.
“ Ginaaaaaaa..
Gue bilang berhenti Gin. “
Apa? Gue?
bukannya biasanya ‘aku’. Aku masih berlari meskipun kecepatanku menurun drastis
tapi aku menyerah juga. Aku berhenti karena kakiku tak kuat lagi, benar benar
tak sanggup meskipun aku ingin tetap berlari. Sial, rupanya aku tak ada bakat
untuk menjadi pelari handal. Mas Dito
ada di belakangku sekarang, tentunya dengan dandanan yang sama sekali lain. Aku
tak bisa menghindar lagi, ah brengsek.
“ Mas Dito? “
“ Ngapain lo di
sini Gin. Ini bukan tempat yang baik buat lo. Lo pulang aja sana, jangan di
sini Gin “
“ Harusnya aku
yang bilang kayak gitu ke Mas Dito. KENAPA MAS DITO DI TEMPAT BEJAT KAYAK GINI
HAAH?”
Kali ini aku tak
bisa mengontrol emosi. Aku benar benar kecewa, sangat kecewa. Suaraku bergetar.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku, menyusahkanku untuk
meluapkan emosiku. Tapi aku tetap nekat bicara, sebisa-bisanya.
“ aku bener
bener nggak nyangka Mas Dito ngelakuin hal ini. aku sama sekali nggak nyangka
mas. Kalo Mas Dito butuh uang buat biaya sekolah Mas sama adek Mas, kenapa
nggak kerja di tempat lain? “
Mas Dito
terdiam, tertunduk lama sekali.
“ kenapa Mas
diem aja? kenapa mas nggak jawab pertanyaanku hah?”
“ Oke, gue akuin
kalo gue salah. Asal lo tau, gue terpaksa ngelakuin ini, GUE TERPAKSA. Manusia
mana yang mau ngelakuin hal menjijikan macam ini Gin? Nggak ada yang mau. Tapi
kondisi, kondisi yang maksa gue ngelakuin hal ini. Apa menurut lo gue nggak
pernah nyoba pekerjaan lain yang lebih mulia daripada ini? Gue pernah Gin,
segala macam pekerjaan udah gue coba. Tiap gue pulang sekolah gue langsung
kerja Gin. Dan apa yang gue dapet? Gue cuman dapet capek, gue nggak dapet duit
banyak sementara gue harus ngebiayain sekolah adek gue. Gue cuman hidup berdua
sama adek gue Gin. Nyokap gue meninggal dua tahun yang lalu dan bokap gue entah
kemana. Setelah nyokap gue meninggal, bokap gue ninggalin kita berdua.”
Mas Dito
meneteskan sedikit air matanya, terbawa emosi. Tapi setelah itu mengusapnya dan
berusaha untuk tetap kuat. Sementara aku diam saja. Merasa bersalah menuduh hal
yang tidak tidak kepadanya.
“ Gue harus
berjuang buat tetap hidup Gin. Masalahnya gue nggak cuman sendiri, gue punya
tanggungan lain yaitu adek gue. Kalo aja gue sendiri, gue lebih milih mati
daripada terjebak dalam keadaan kayak gini. Tapi gue punya adek Gi, dan gue
bener bener sayang sama dia. Dia adalah alasan buat gue tetep hidup. “
“ Kalo Mas Dito
sayang sama adek Mas Dito, kenapa tadi aku denger Mas Dito marah marah ke adek
Mas Dito? Kenapa? “
“ Itu karena gue
sayang sama dia Gina. Gue pengen adek gue jadi orang yang lebih baik dari gue,
lebih pinter dari gue dan lebih segala-galanya dari gue. Gue pengen adek gue
nggak jadi orang brengsek macem kakaknya. Pergi malem hari,pulang pagi. Gue
nggak pengen adek gue sampe gitu. “
“Oiya, gue
pernah bilang ke lo kalo gue berhenti sekolah selama setahun sebelum gue
akhirnya ngenjutin ke SMA. Tapi itu sebenernya bohong Gin. Gue itu seharusnya
udah duduk di kelas 3 SMA. Maaf ya gue udah ngebohongi lo, ngebohongin
semuanya.“
Sekarang aku
memahami benar bahwa posisi Mas Dito itu sulit, serba salah. Mungkin jika aku
jadi dia, aku sudah tidak sanggup. Kami berdua sama sama diam. Kami terduduk di
pinggir jalan, untung saja jalannya tidak ramai. Sejak tadi hanya ada beberapa
mobil yang lewat.
“ Gina, lo mau
janji sesuatu sama gue kan?” kata Mas Dito
“ Janji apaan
mas?”
“ Gue minta lo
jangan kasih tau siapapun soal hal ini. SIAPAPUN. Janji gin?”
“ Janji Mas,
Gina janji gak akan ngomong ke siapapun “
“ makasih banget
ya Gin. Semoga aja lo bisa gue percaya. “
Ada sesuatu yang
masih membuatku penasaran hingga saat ini. Jika tadi Mas Dito bilang kalau
dirinya sering pulang pagi, lalu kapan Mas Dito belajar? Kenapa dia tak pernah
kesusahan mengikuti semua pelajaran yang ada, jangankan kesusahan justru dialah
yang menjadi paling pintar diantara semuanya. Kuberanikan diri untuk bertanya,
itung itung ini untuk mengurangi rasa penasaranku terhadap kemisterusan Mas
Dito.
“ Mas, kalo mas
dito itu pulangnya pagi, kapan mas dito belajar? Kenapa Mas DIto bisa sepandai
itu?”
Mas Dito
tertawa. Apa ada yang salah dari pertanyaanku?
“ Sebelum gue
berangkat kesini, gue itu belajar dulu di rumah. Kalo sempet ya pagi-pagi baca
buku lagi. Cuman itu kok. “
“ mmmm, aku
boleh tanya sesuatu nggak Mas?”
“ boleh boleh,
tanya aja Gin. “
“ Mmmm, sampe
kapan Mas Dito mau ngejalanin profesi ini? Mas dito nggak mau cari kerjaan lain
apa? Gina bantuin cari kerja yaa Mas, biar Gina bilang ke bapak Gina suruh
nyariin kerja buat Mas Dito. Mas Dito kan pinter, sayang banget kalo Mas Dito
malah jadi kayak gini.”
“ sampe kapan?
Gue nggak tau Gin, mungkin sampe Tuhan ngambil nyawa gue kali. Makasih banget
tawarannya, tapi gue nggak mau ngerepotin orang. “
Aku sungguh
tidak mampu melihat keadaannya yang seperti ini. Orang sepintar dia harus
menjalani nasib yang seperti ini? Ya Tuhan, kejam sekali dunia ini. Aku harus
berusaha membantunya meskipun bantuanku tak berpengaruh banyak pada
kehidupannya. Harus.
***
“ Gina,
mendingan lo pulang deh. Ini udah hampir jam 12 malem. Nggak baik kali cewek
keliaran di luar malem malem gini. “
“ hah, ini udah
jam 12 ya mas. Mampus, semoga aja Yola masih bisa dibangunin. Ayo anterin aku
ambil motor Mas! “
Mas Dito
menemaniku mengambil motor yang entah aku tinggal di mana. Ternyata motorku ada
di tengah jalan yang sepi karena setauku itu adalah jalan alternative untuk
mencapai tempat pelacuran itu. Untung saja tidak hilang, jadinya kan aku masih
bisa pulang. Mas Dito mengantarkanku hingga jalan biasa, yang masih agak ramai.
Disitu aku mendengar teriakan dari waria waria lain.
“ cieeee Dinda,
sekarang mainnya sama yang ABG ABG nih. Eke dilupain deh jadinya “
Yang semacam
itulah. Aku si tidak peduli. Cuek saja aku dengan semua itu. Lagi lagi Mas Dito
memintaku untuk menjaga rahasianya. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Gas motorku
sudah kunyalakan, tinggal bergegas pulang. Tapi mendadak semuanya berhamburan
keluar, semuanya. Aku tidak mengerti ada apa ini sebenarnya. Mas Dito memintaku
untuk pergi dan dia pun ikut ikutan berlari.
“ Gina, cepetan
lo pergi. Cepetan !!! “ teriak Mas Dito
Setelah beberapa
saat ternyata aku tau kalau sekarang ini ada razia mendadak. Pantas saja semua
orang sibuk melarikan diri. Aku tetap saja diam di tempat. Kenapa harus panik,
aku kan tidak salah apa apa. Aku juga bukan bagian dari wanita wanita penghibur
itu. Seharusnya petugas kan bisa membedakan mana yang pelacur mana yang bukan.
“ GINA, CEPETAN
PERGI. SATPOL-PP ITU NGGAK PEDULI SAMA APAPUN GIN. PERGI GINA !!! “
Nampaknya Mas
Dito tidak sabar melihat kelakuanku. Dia yang sudah cukup jauh meninggalkanku
pun akhirnya memutuskan untuk kembali. Dia lalu mengambil alih motorku ,
memintaku untuk mundur dan berusaha untuk ngebut. Sialnya,baru beberapa puluh
meter motor itu melaju, di depan kami sudah ada empat orang petugas yang
menghadang kami sementara berpuluh puluh petugas lainnya mengamankan yang
tertangkap, menggiringnya ke mobil. Aku benar benar deg-degan. Aku tidak tau
harus bagaimana lagi.
“ hey kamu,
cepat naik ke mobil, kamu juga ! “ petugas itu mengacung-acungkan tangannya ke
muka kami.
“ bawa aja gue,
nggak usah bawa bawa cewek ini. Dia nggak tau apa apa. “
“ nggak bisa,
pokoknya kalian berdua harus ikut “ petugas itu ngeyel.
“ Udah, tangkep
gue aja. Cewek ini biarin aja bebas, dia sama sekali nggak bersalah “
Petugas itu
menarik tanganku, memaksaku turun dari motor. Sakit sekali rasanya. Aku
berusaha melepaskan diri sebisaku, memberontak semampuku. Tapi tenaga petugas
itu lebih kuat dari tenagaku. Dan usahaku pun benar benar sia sia. Mas Dito
berusah membantuku dengan cara memukul petugas itu dari belakang. Tapi petugas
yang lainnya pun turut serta memukuli Mas Dito sementara yang satunya memegangi
kedua tanganku.
“ Lepasin gue,
lepasin gue “, aku berteriak seperti kesetanan
Tanpa aku sadari
aku menyikut mukanya dan menggigit tangannya. Kali ini sukses, aku segera
mengambil helm yang masih menyangkut di motorku dan menghantamkannya pada salah
satu petugas yang sedang memukuli Mas Dito. Alhasil perhatian petugas petugas
brengsek itu pun beralih kepadaku. Mereka mengepungku sementara Mas Dito terbujur
dengan wajah yang babak belur, make up yang rusak, gaun yang robek sana sini
dan rambut palsu yang sudah terlempar jauh.
“ Mau apa lo
hah? Berani maju satu langkah, gue telpon polisi nih “, kataku sedikit
mengancam
“ anak kecil
nggak usah sok berani deh. kita berempat, sementara lo Cuma sendirian. Temen lo
yang banci itu udah berhasil gue abisin. Terus, mau apa lo sekarang hah?”
Kakiku gemetar.
Aku sangat takut. Tuhan, tolong aku, tolong selamatkan aku dari manusia manusia
bangsat ini Tuhan. Aku melirik kea rah Mas Dito, dia berusaha bangkit rupanya.
Tapi aku diam saja dan aku kembali waspada.
Salah seorang
petugas berusaha menangkapku lagi. Aku berhasil menghindar dan kembali mencoba
menghantamkan helm-ku kea rah mereka. Mereka semakin beringas, semakin ganas.
Tenagaku mulai terkuras dan sebentar lagi habis. Napasku sudah tersengal sengal.
Mereka mengejarku lagi, kali ini mereka mencoba untuk memukulku dan pukulannya
mengenai pelipisku padahal sebisa mungkin aku sudah menghindar. Sakit, aku tidak
sanggup lagi, siapapun tolong aku. Tiba tiba Mas Dito sudah bangkit dan kembali
memukul mereka. Kali ini lebih kuat meskipun mukanya sudah babak belur. Mas
Dito mengamuk. Petugar petugas itupun satu per satu tumbang. Tapi aku tidak
tahu lagi bagaimana kelanjutannya. Aku pingsan.
***
Saat aku
tersadar , aku sudah terbaring di rumah sakit. Perban sudah menempel di sana
sini.
“ Mas Dito, Mas
Dito mana Mas Dito?”
“ Siapa Mas
Dito, nggak ada yang namanya Dito di sini Gina “
“ lhoh, kenapa
ibu bisa ada di sini? Siapa yang membawaku ke sini bu? Siapa?”
“ Tadi ibu tiba
tiba ditelpon sama rumah sakit, katanya kamu kecelakaan “
Aku tidak peduli
lagi dengan apa yang dikatakan ibuku. Yang kukhawatirkan kali ini hanyalah
bagaimana keadaan Mas Dito sekarang ini? Di mana dia sekarang? Apa dia sudah
dibawa petugas petugas sialan itu?
Sampai aku
keluar dari rumah sakit, sampai luka luka di pelipisku mongering, sampai aku
masuk sekolah lagi pun aku belum mengetahui keadaan Mas Dito. Mas Dito seperti
hilang begitu saja, lenyap. Setiap hari kerjaanku hanya memikirkan Mas Dito.
Merasakan kehilangan yang luar biasa.
Satu mingguku,
dua mingguku, satu bulanku, dua bulanku, tiga bulanku berlalu tanpa adanya Mas
Dito, benar benar tak ada kabar sedikitpun. Misterius maksimal. Aku mulai
terbiasa sebenarnya. Aku bahkan mulai lupa meskipun tidak bisa sepenuhnya.
Hingga pada suatu hari, ada seseorang yang mengirimkan surat kepadaku. Katanya
itu titipan dari Mas Dito.
Gina,
Ada banyak hal yang terjadi setelah lo
pingsan malem itu. Banyak banget Gin. Dan hal hal itulah yang ngebikin gue memilih
untuk menghilang dari kehidupan ini. Sekarang gue ada di suatu tempat yang bener-bener
gue pengen. Disini gue bahagia Gin, lo nggak usah khawatirin gue.
Maaf kalo selama ini gue nggak pernah
ngabarin lo Gin. Maaf kalo gue tiba tiba ilang. Maaf juga kalo malem itu gue
nggak bisa ngelindungin lo. Maaf banget Gin.
Lupain gue Gin. LUPAIN. Dan satu lagi, nggak
usah nyari tau keberadaan gue kayak yang pernah lo lakuin dulu.. Sekali lagi,
MAAFIN GUE GIN.
1 komentar: